MANAJEMEN
PERTANAHAN
Manajemen
Pertanahan merupakan suatu usaha dan kegiatan suatu organisasi
dan manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan pemerintah di
bidang pertanahan dengan mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.[1]
Jadi yang dimaksud dengan manajemen pertanahan adalah
upaya pemerintah di bidang pertanahan dalam menentukan dan mencapai sasaran
dengan memanfaatkan sumber daya baik manusia maupun material melalui koordinasi
dengan menjalankan fungsi-fungsi :
1. Planning (perencanaan).
2. Executing atau pelaksanaan rencana dalam
mencapai tujuan melalui pengambilan keputusan, pengendalian sumber daya atau
pelaksanaan fungsi manajemen dan perintah-perintah.
3. Organizing atau membentuk organisasi dan
menata kelompok manusia serta hubungan satu sama lain.
4. Persuading yaitu mendorong kelompok
manusia tersebut untuk bekerjasama, berkomunikasi, memberi perintah, memberi
laporan, menanamkan pengertian, penghargaan, gaji, dan insentif.
5. Leading yaitu kemampuan untuk memimpin.
6.
Evaluating yaitu memberikan penilaian melalui
fungsi pengawasan berupa teguran agar tercipta suatu apresiasi baik bersifat
persuasif maupun motivasi.
Secara umum kegiatan-kegiatan manajemen pertanahan
yang dilaksanakan secara operasional dalam praktik sehari-hari meliputi:
1. Merencanakan penyediaan dan penggunaan tanah
Untuk
menyusun rencana penyediaan dan penggunaan tanah, Kantor Pertanahan setempat
menggunakan data pokok pertanahan sebagai sumber informasi utama. Data pokok
pertanahan suatu wilayah merupakan upaya penyediaan data informasi terutama
bagi kegiatan pembangunan, dari segi geografi, dan kaitan penggunaan tanah yang
direkam dalam suatu waktu tertentu.[2]
Agar informasi tersebut tetap aktual maka harus dilakukan pemutakhiran data
secara terus menerus. Demikian pula jenis-jenis data dari waktu ke waktu terus
dikembangkan seiring dengan dinamika dan kemajuan kegiatan dan kebutuhan
masyarakat terhadap lokasi-lokasi tertentu.
Hasil
kegiatan pengumpulan dan pengolahan data pokok adalah peta yang menguraikan
data dari berbagai segi (jumlahnya + 39 peta) antara lain peta himpunan
tanah, kependudukan, perumahan, status tanah, kegiatan pendidikan, kesehatan,
sumber air bersih, bahkan data kemacetan lalu lintas. Lingkup wilayah yang di
data mulai dari wilayah kota, bagian kota, kecamatan, sampai dengan kelurahan.
2. Pertimbangan aspek tata guna tanah
Aspek tata
guna tanah merupakan hasil kajian dari segi tata guna tanah terhadap suatu
lokasi tertentu dalam kaitan dengan rencana kegiatan suatu pembangunan atau
dalam rangka pemberian hak atas tanah.
Tata guna
tanah adalah rangkaian kegiatan penataan peruntukan, penggunaan, dan persediaan
tanah secara berencana dan teratur sehingga diperoleh manfaat yang lestari,
optimal, seimbang, dan serasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan
negara[3].
Dengan demikian, kegiatan tata guna tanah atau penatagunaan tanah merupakan
pengaturan penggunaan tanah, yang meliputi penggunaan permukaan bumi di daratan
dan penggunaan permukaan bumi di lautan.
Untuk sampai
pada suatu perencanaan yang matang dalam pengembangan tata guna tanah, perlu
dilakukan sejumlah langkah-langkah yang meliputi[4]:
a. keterpaduan
antar instansi sehingga tidak lagi berpikir secara sektoral;
b. berbagai
kendala yang harus diatasi seperti tidak meratanya penduduk di seluruh
Indonesia, terutama di pulau-pulau tertentu sehingga tidak mungkin penerapan
yang seragam dari tata guna tanah tersebut. Sebaliknya bertambah berkembangnya
kota-kota karena urbanisasi, baik tidak adanya lapangan kerja di Indonesia,
fasilitas sosial yang lebih baik di kota-kota, perencanaan pemukiman kota yang
belum mengacu kepada pembatasan pembangunan perumahan. keamanan dan ketenangan
yang sudah terganggu di pedesaan, fasilitas pendidikan yang tidak merata di seluruh
Indonesia;
c. berbagai
produk hukum dalam meninjau sesuatu objek berlainan solusinya;
d. belum
adanya daftar yang mantap atas seluruh aset yang ada seperti hak-hak atas tanah
yang ada, jenis-jenis hak, kemampuan dari tanah-tanah tersebut, penggunaannya
yang belum tertib, masih tidak teraturnya penggunaan tanah, adanya industri di
daerah pemukiman dan sebagainya;
e. keterkaitan
antara perpajakan dengan pemukiman yang belum terbina dengan baik. Di satu
pihak, perpajakan berusaha mendapatkan pajak yang sebanyak-banyaknya, di sisi
lain, rakyat golongan menengah dan kecil yang tidak dapat membayar pajak
tersebut sebagai akibat inflasi dan penurunan nilai uang yang mereka terima;
f. perkembangan
industri yang mempergunakan tanah-tanah pertanian yang subur dan berdampak
mengganggu keswasembadaan pangan nasional, termasuk dalam hal ini industri
pariwisata dan pemukiman mewah yang mempergunakan tanah-tanah yang seyogianya
sebagai wadah penampungan air atau tempat resapan air.
Hasil
kajian dari segi tata guna tanah itu berupa fatwa tata guna tanah. Setiap
pertimbangan aspek tata guna tanah harus merupakan satu kesatuan pendapat
berupa Fatwa Panitia Pemeriksaan Tanah A dan B dalam bentuk Risalah Pemeriksaan
Tanah.
Salah satu
fungsi pemberian pertimbangan aspek tata guna tanah adalah dalam rangka
memberikan pengarahan menuju tata guna tanah secara rasional, memberikan
pedoman pemecahan masalah penggunaan tanah dan memberikan informasi mengenai
kecenderungan dan arah perkembangan pola penggunaan tanah.[5] Pertimbangan aspek tata guna tanah juga
digunakan dalam penilaian atas permohonan hak atas tanah sepanjang terdapat
perubahan penggunaan tanah.
3.
Pengadaan dan penataan penguasaan tanah
Informasi
mengenai berapa luas tanah negara dan tanah beridentitas hak atas tanah serta
penguasaannya merupakan data yang sangat diperlukan untuk digunakan sebagai
bahan perencanaan suatu kegiatan pembangun-an dan rencana penguasaan tanahnya.
Perencanaan
penggunaan tanah mempunyai arti penting karena merupakan satu kesatuan dengan
penentuan hak atas tanah. Hak atas tanah pada hakikatnya adalah suatu
kewenangan yang diberikan oleh pemerintah kepada seseorang atau badan hukum
untuk menggunakan tanah tersebut dalam batas-batas menurut ketentuan UU (Pasal
4 UUPA). Dengan demikian, merencanakan penggunaan dan penguasaan tanah
sebenarnya juga merencanakan segi legalitasnya yaitu hak-hak atas tanah apa
yang harus diberikan sesuai dengan penggunaannya.
4.
Koordinasi penanganan masalah pertanahan
Koordinasi
dalam pemerintahan pada hakikatnya merupakan upaya memadukan
(mengintegrasikan), menyerasikan dan menyelaraskan berbagai kepentingan dan
kegiatan yang saling terkait beserta segenap gerak, langkah dan waktunya dalam
rangka pencapaian tujuan dan sasaran bersama.[6]
Dalam menangani
masalah pertanahan, koordinasi terutama diperlukan untuk mengidentifikasikan
jenis permasalahan yang timbul. Ada 3 kategori penyebab timbulnya permasalahan
dalam bidang pertanahan, yaitu:[7]
a. Masalah
pertanahan yang bersifat administratif, yaitu masalah-masalah yang menyangkut
tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban oleh pemegang hak sesuai persyaratan yang
ditetapkan dan sesuai ketentuan yang berlaku, misalnya pemegang hak berubah
kewarganegaraan, tumpang tindih pemegang hak (sertifikat ganda) karena
kekeliruan administrasi.
b. Masalah
yang bersifat yuridis perdata, yaitu masalah-masalah yang menyangkut gugatan
terhadap suatu dasar hak/peralihan hak yang digunakan sebagai dasar pemberian
hak atas tanah (originair) atau
pencatatan pemindahan hak/balik nama (derivatif).
Misalnya tanah dijual dua kali.
c. Masalah
yang bersifat yuridis administratif, yaitu masalah yang menyangkut perselisihan
mengenai suatu hak utama (prioritas) untuk memperoleh hak atas tanah seperti
sengketa yang menyangkut batas tanah karena penunjukan batas yang tidak benar.
Setelah
penyebab timbulnya masalah dapat diidentifikasi, koordinasi penanganan masalah
pertanahan dapat dilakukan di antara berbagai instansi yang berwenang, misalnya
antara aparat Kantor Pertanahan Kota dengan Kanwil Badan Pertanahan Propinsi.
5.
Peningkatan pelayanan pertanahan
Pelayanan
merupakan salah satu fungsi pokok yang harus dilaksanakan oleh setiap instansi
pemerintah termasuk juga instansi Badan Pertanahan Nasional. Kondisi ideal bagi
suatu pelayanan telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Penertiban dan
Pendayagunaan Aparatur Negara No. 06/1995 yang menguraikan bahwa pelayanan yang
baik harus mengandung hal-hal sebagai berikut :
a. Kesederhanaan
dalam prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi masyarakat pengguna jasa
pelayanan.
b. Kejelasan
dan kepastian mengenai hak-hak dan kewajiban penerima pelayanan serta kejelasan
dalam hal pembagian tugas bagi petugas pelayanan.
c. Keamanan,
dalam arti hasil pelayanan terjamin kebenarannya, sah, pasti, dan menjamin
perlindungan hukum sebagai alat bukti yang sah.
d. Keterbukaan
mengenai mekanisme dan tata cara peraturan pelayanan yang diinformasikan secara
terbuka, luas dan mudah dimengerti oleh masyarakat.
e. Efisien,
dalam arti menetapkan pola pelayanan yang tepat, mekanisme dan prosedur
pelayanan sesuai struktur organisasi, serta menggunakan sarana secara optimal.
f. Ekonomis
dalam hal biaya pelayanan.
g. Keadilan
yang merata bagi seluruh masyarakat tanpa membedakan status sosialnya.
h. Ketepatan waktu
dalam setiap tahap proses pelayanan.
i. Kuantitatif
pelayanan, yang meliputi jumlah permintaan pelayanan, waktu pemberian
pelayanan, penggunaan perangkat modern, dan frekuensi keluhan/pujian.
Bentuk dan
sistem pelayanan harus ditetapkan oleh masing-masing Kantor Pertanahan
disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik wilayahnya. Selain itu, untuk
mengatasi kekurangan sumber daya manusia yang dapat menghambat pemberian
pelayanan secara cepat, Kantor Pertanahan dapat mendelegasikan wewenang suatu penanganan
pelayanan kepada unit kerja yang belum optimal atau dengan menyerahkan kepada
sektor swasta.
6.
Pengawasan pelaksanaan penggunaan tanah
Dalam
menentukan apakah permohonan suatu izin lokasi dapat direkomendasikan
ditentukan oleh informasi dan dokumen yang diperlihatkan oleh pemohon. Kantor
Pertanahan hanya mencocokkan data penggunaan tanah yang ada dengan
perbandingan/skala besar yang merupakan hasil survei secara umum dan berkala.
Dengan demikian tingkat akurasi data sering tidak memadai dalam menjawab
informasi yang dibutuhkan. Penelitian terhadap permohonan izin lokasi hanya
mengacu pada proposal/rencana pembangunan yang disesuaikan dengan rencana
pembangunan kota/daerah.
Selanjutnya
setelah izin lokasi diterima oleh pemohon, pelaksanaan pengadaan tanah
didasarkan pada ketentuan dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah, yaitu bahwa pelaksanaan pengadaan tanah oleh pemerintah dengan luas
tidak lebih dari 1 ha dan pengadaan tanah oleh swasta dapat dilakukan langsung
oleh pimpinan proyek atau investor yang bersangkutan. Dengan demikian
pengawasan dan pengendalian suatu kegiatan pengadaan tanah hanya terbatas pada
laporan kemajuan dari pimpinan proyek atau investor secara berkala kepada
Kepala Daerah dan/atau Kantor Pertanahan setempat.
Dalam
melaksanakan fungsi perencanaan penggunaan tanah, Kantor Pertanahan berperan
aktif untuk memutakhirkan data pokok yang bisa menjadi sumber informasi yang
lengkap dan aktual sebagai bahan pengendalian penggunaan tanah. Selama ini,
tugas yang diberikan kepada Kantor Pertanahan hanya bersifat pengawasan
terhadap pelaksanaan pemberian izin lokasi kepada pimpinan proyek atau investor
sesuai dengan Surat Edaran Kepala BPN No. 580.2-5568-DIII tanggal 6 Desember
1990 dan No. 580-2-3071 tanggal 23 September 1991 tentang Mekanisme dan
Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Pengadaan Tanah.
[1] Murad, loc. cit.
[2] Ibid, hal. 61
[3] R. Soeprapto, Undang-undang
Pokok Agraria dalam Praktek, Jakarta, UI Press. 1986, hal 75
[4] A.P. Parlindungan, Komentar atas
UU Penataan Ruang (UU No. 24 Tahun 1992), Bandung Mandar Maju, 1993, hal,
38 – 39.
[5] Murad, op. cit., hal. 63
[6] Ibid, hal. 66
[7] Murad, loc. cit.
Ulasan ini telah dialihkan keluar oleh pengarang.
BalasPadam