Rabu, 16 Mac 2016

Teori kriminologi

Kriminologi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kriminologi berasal dari kata crimen yang artinya adalah kejahatan dan logos yang artinya ilmu, sehingga kriminologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang kejahatan dan tindak kriminal.[1]

Daftar isi

Pengertian menurut para ahli

Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.
Sutherland 
Kriminologi adalah keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan kejahatan sebagai gejala sosial dan mencakup proses-proses perbuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum.
Wood 
Kriminologi adalah keseluruhan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman yang bertalian dengan perbuatan jahat dan penjahat dan,termaksud di dalamnya reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat.
Noach 
Kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang terlibat dalam perilaku jahat dan perbuatan tercela itu.
Walter Reckless 
Kriminologi adalah pemahaman ketertiban individu dalam tingkah laku delinkuen dan tingkah laku jahat dan pemahaman bekerjanya sistem peradilan pidana.

Ruang lingkup

Menurut Muhammad Mustafa,[1] ruang lingkup pembahasan dalam kriminologi dapat dibagi menjadi:
  1. Kejahatan, perilaku menyimpang, dan kenakalan,
  2. Pola tingkah laku kejahatan dan sebab musabab terjadinya kejahatan,
  3. Korban kejahatan,
  4. Reaksi sosial masyarakat terhadap kejahatan.

Dasar-dasar Teori

Dasar-dasar teori kriminologi yaitu:[2]
Demonologis
Merupakan pemikiran awal yang dikembangkan atas dasar pemikiran yang tidak rasional, di mana suatu tingkah laku kejahatan yang dilakukan oleh individu merupakan pengaruh dari roh jahat (demon= setan). Benar atau salahnya suatu tingkah laku ditentukan oleh definisi kepala suku atau orang yang dianggap sebagai dewa. Pemikiran ini masih bersifat konvensional di mana tindakan pelanggaran yang dianggap paling serius bagi Demonologis adalah mempergunakan ilmu gaib hitam atau dikenal dengan black magic. Hukuman yang digunakan juga masih bersifat tradisional yang ditujukan untuk mengusir roh jahat dalam diri individu tersebut, seperti membakar individu yang memiliki ilmu hitam.
Klasik
Pada penjelasan mengenai pemikiran klasik, tingkah laku jahat yang dilakukan oleh manusia merupakan cerminan dari adanya konsep "free will" atau kehendak bebas. Dalam penjelasan mengenai pemikiran klasik dengan konsep free will ini menganggap bahwa individu memiliki pilihan dan pemikiran untuk menentukan tindakan yang akan mereka lakukan. Hukuman yang diterapkan pada pemikiran ini bersifat umum sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Tokoh dalam pemikiran klasik ini antara lain Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham.
Neo Klasik
Neo Klasik muncul sebagai bentuk kritikan terhadap klasik yang menyamakan hukuman setiap orang tanpa mempertimbangkan usia, fisik, dan kondisi kejiwaan seseorang.
Determinisme
Merupakan suatu penjelasan mengenai kejahatan bahwa tingkah laku jahat merupakan pengaruh dari adanya faktor-faktor tertentu. Terdiri dari beberapa paradigma, yaitu:
  1. Positivisme
    Salah satu tokoh yang terkenal dalam paradigma positivisme ini adalah Cesare Lombroso di mana menghubungkan antara tingkah laku jahat dengan kondisi biologis atau fisik seseorang.
  2. Interaksionisme
    Dalam paradigma interaksionisme, tingkah laku jahat merupakan definisi dari hasil interaksi, di mana seseorang dianggap jahat ketika orang lain melihat bahwa tingkah laku tersebut adalah jahat atau menyimpang. Teori yang terkenal pada paradigma interaksionis ini adalah teori "Labeling", tokoh-tokohnya antara lain Edwin Lemert, Becker, Kitsuse, dan Goffman.
  3. Konflik
    Dalam penjelasan ini, tingkah laku jahat merupakan suatu definisi yang dibuat oleh penguasa terhadap tingkah laku di mana hal tersebut ditujukan untuk kepentingan penguasa. Tokoh-tokohnya antara lain Bonger, Quinney, Taylor, Vold, dan J.Young.
  4. Pos Modern Kriminologi
    Paradigma ini memandang bahwa kejahatan merupakan suatu konsep yang harus didekonstruksikan. Tiga buah pendekatan dalam paradigma ini yaitu realisme, feminisme, dan konstitutif.
  5. Budaya
    Paradigma budaya melihat tingkah laku jahat berbeda jika dilihat dalam konteks budaya yang berbeda pula. Jika pada satu kebudayaan tertentu memandang suatu tingkah laku jahat, maka pada kebudayaan lain belum tentu dipandang juga sebagai kejahatan

Selasa, 8 Mac 2016

Kriminologi

Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspek. Kata kriminologis pertama kali dikemukakan oleh P. Topinard (1830-1911), seorang ahli antropologi Perancis. Kriminologi terdiri dari dua suku kata yakni kata “crime” yang berarti kejahatan dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan.

P. Topinard (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001: 5), mendefinisikan “Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (kriminologis teoritis atau kriminologis murni).
 Kriminologis teoritis adalah ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman, yang seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala yang mencoba menyelidiki sebab-sebab dari gejala tersebut dengan cara-cara yang ada padanya.”

Edwin H. Sutherland (J. E. Sahetapy, 1992: 5), mendefinisikan kriminologi bahwa “Criminology is the body of knowledge regarding delinquency and crime as social phenomena (Kriminologi adalah kumpulan pengetahuan yang membahas kenakalan remaja dan kejahatan sebagai gejala sosial).”
Paul Moedigdo Moeliono (Soedjono D, 1976: 24), merumuskan “Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia.”

Dari kedua defenisi di atas dapat dilihat perbedaan pendapat antara Sutherland dan Paul Moedigdo Moelino, keduanya mempunyai defenisi yang bertolak belakang. Dimana defenisi Sutherland menggambarkan terjadinya kejahatan karena perbuatan yang ditentang masyarakat, sedangkan defenisi Paul Moedigdo Moeliono menggambarkan terjadinya kejahatan karena adanya dorongan pelaku untuk melakukan kejahatan.
Soedjono D, (1976: 24), mendefinisikan kriminologi “sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab akibat, perbaikan dan pencegahan kejahatan sebagai gejala manusia dengan menghimpun sumbangan-sumbangan dari berbagai ilmu pengetahuan.”
Dari defenisi Soedjono di atas dapat disimpulkan bahwa kriminologi bukan saja ilmu yang mempelajari tentang kejahatan dalam arti sempit, tetapi kriminologi merupakan sarana untuk mengetahui sebab-sebab kejahatan dan akibatnya, cara-cara memperbaiki pelaku kejahatan dan cara-cara mencegah kemungkinan timbulnya kejahatan.

J. Constant memberikan defenisi “Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan faktor-faktor yang menjadi sebab-musabab terjadinya kejahatan dan penjahat.”
WME. Noach  memberikan defenisi “Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki gejala-gejala kejahatan dan tingkah laku yang tidak senonoh, sebab-musabab serta akibat-akibatnya.”
W. A. Bonger memberikan defenisi “Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.”

Khamis, 24 September 2015

DEWAN PERWAKILAN DAERAH


[Tulisan ini sebagian disadur dari buku yang dibuat oleh Tim Peneliti PSHK, Semua Harus Terwakili,
                                  (Jakarta: PSHK, 2000) dan tulisan-tulisan Bivitri Susanti]

Oleh: Bivitri Susanti, Herni Sri Nurbayanti dan Fajri Nursyamsi
Sumber: http://gudangpikiran.weebly.com/2/post/2012/11/sejarah-dpd-dewan-perwakilan-daerah.html
  1. Gagasan Awal pada Sejarah Pembentukan DPD
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada awal pembentukannya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga jauh dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini.


Bila dibandingkan dari segi kelahiran lembaganya, DPD memang jauh lebih muda dari DPR, karena DPR lahir sejak tahun 1918 (dulu bernama Volksraad). Namun, apabila dilihat dari segi gagasannya,  keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional, sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan. Dicatat oleh Indra J. Piliang dalam sebuah buku yang diterbitkan DPD, bahwa pemikiran ini lahir pertama kali dalam konferensi GAPI pada 31 Januari 1941 (Kelompok DPD di MPR RI, 2006: 15).


Gagasan tersebut terus bergulir, sampai pada masa pendirian Republik ini pun, gagasan untuk membentuk lembaga perwakilan daerah di parlemen nasional ikut dibahas. Gagsan tersebut dikemukakan oleh Moh. Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dikatakannya:

Kekuasaan yang dipegang oleh permusyawaratan oleh seluruh rakyat Indonesia diduduki, tidak saja oleh wakil daerah-daerah Indonesia, tetapi semata-mata pula oleh wakil golongan atau rakyat Indonesia seluruhnya, yang dipilih dengan bebas dan merdeka oleh rakyat dengan suara terbanyak. Majelis Permusyawaratan juga meliputi segala anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kepada Majelis Presiden bertanggung jawab. Jadi ada dua syaratnya, yaitu wakil daerah dan wakil golongan langsung daripada rakyat Indonesia.
(Sekretariat Negara RI, 1995).
  1. Pengaturan Perwakilan Daerah dalam Konstitusi Indonesia
Gagasan-gagasan akan pentingnya keberadaan perwakilan daerah di parlemen, pada awalnya diakomodasi dalam konstitusi pertama Indonesia, UUD 1945, dengan konsep “utusan daerah” di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang bersanding dengan “utusan golongan” dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.” Pengaturan yang longgar dalam UUD 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Dalam periode konstitusi berikutnya, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), gagsan tersebut diwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia Serikat yang mewakili negara bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS.

Selanjutnya, dalam UUD Sementara (UUDS) 1950 (Undang-Undang No. 7 Tahun 1950) tetap mengakomodasi Senat yang sudah ada sebelumnya, selama masa transisi berlangsung. Masa transisi ini ada karena UUDS 1950, yang dibuat untuk menghentikan federalisme ini, secara khusus mengamanatkan adanya pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan anggota Konstituante untuk membuat UUD yang definitif yang akan menjadi landasan bentuk dan pola baru pemerintahan Indonesia. Karena itulah, penting untuk dicatat, adanya Senat dalam UUDS 1950 hanya diberlakukan selagi Pemilu yang direncanakan belum terlaksana (kemudian terlaksana pada tahun 1955). Dalam sistem perwakilan UUDS itu sendiri, Senat ditiadakan karena bentuk negara tidak lagi federal.

Setelah UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, Indonesia kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Konsekuensinya, “utusan daerah” kembali hadir. Dekrit ini lantas diikuti dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang Pembentukan MPR Sementara (MPRS) dan Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1959 tentang Susunan MPRS. Penetapan Presiden No. 12/1959 ini menetapkan bahwa MPRS terdiri dari anggota DPRS (hasil Pemilu 1955) ditambah utusan daerah dan golongan karya. Anggota MPRS tidak dipilih melalui Pemilu, melainkan melalui penunjukan oleh Soekarno (Jaweng, 2005). Kemudian Soekarno memangkas fungsi, kedudukan, dan wewenang MPRS melalui Ketetapan MPRS No. 1 Tahun 1960 sehingga MPRS hanya bisa menetapkan GBHN, tanpa bisa mengubah UUD.

Pada masa pemerintahan Soeharto, skema ini tidak berubah. Utusan daerah sebagai anggota MPR hanya bekerja sekali dalam lima tahun, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan GBHN. Tidak ada hal lainnya yang dapat dilakukan oleh utusan daerah selama lima tahun masa jabatannya. Akibatnya, efektivitasnya sebagai wakil daerah dalam pengambilan keputusan tingkat nasional dapat dipertanyakan. Bila dibandingkan dengan konsep parlemen dua kamar (bikameral) yang menjadi rujukan perwakilan daerah, keberadaan utusan daerah ini berada di luar konteks.

Perkembangan pemikiran yang signifikan kemudian muncul pada pembahasan amandemen UUD 1945 pada 1999-2002. Perubahan pertama UUD 1945 disahkan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 yang berlangsung pada tanggal 14-21 Oktober 1999 dan perubahan kedua dilakukan pada Sidang Tahunan MPR yang berlangsung pada tanggal 7-18 Agustus 2000. Setelah perubahan kedua tersebut, MPR masih memandang perlu untuk melanjutkan ke perubahan ketiga UUD 1945. Dalam perubahan ketiga inilah muncul gagasan untuk membentuk parlemen yang menganut sistem bikameral, yang kemudian melahirkan secara legal formal DPD yang ada sekarang.


  1. Proses Lahirnya DPD dalam Pembahasan Amandemen Ketiga UUD 1945
Munculnya gagasan bikameral bermula dari pernyataan resmi Fraksi Utusan Golongan (F-UG) dalam rapat Badan Pekerja MPR (BP MPR) yang ditugaskan mempersiapkan materi Sidang MPR. Fraksi UG mengemukakan bahwa keberadaannya tidak diperlukan lagi di MPR karena merupakan hasil pengangkatan dan bukan pemilihan. Hal ini bertentangan dengan semangat demokrasi yang menghendaki bekerjanya prinsip perwakilan berdasarkan pemilihan.  Anggota UG memaparkan dua pilihan yang tersedia. Pertama, konsep awal UUD 1945 yaitu MPR yang mempersatukan kelompok yang ada dalam masyarakat. Kedua, menerapkan sistem perwakilan dua kamar dengan memperhatikan prinsip bahwa semua wakil rakyat harus dipilih melalui Pemilu.

Lalu muncul gagasan untuk lebih meningkatkan peran UD yang perannya terbatas pada penyusunan GBHN yang hanya dilakukan lima tahun sekali. Dalam suasana inilah, lahir gagasan untuk melembagakan UD yang lebih mencerminkan representasi wilayah dan bekerja secara efektif. Tidak hanya sekali dalam lima tahun.

MPR lantas menugaskan Badan Pekerja (BP) MPR untuk melanjutkan proses perubahan tersebut melalui Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000. Persiapan rancangan perubahan UUD 1945 dilakukan dengan menggunakan materi-materi dalam lampiran ketetapan yang merupakan hasil BP MPR periode 1999-2000. Ketetapan itu juga memberikan batas waktu pembahasan dan pengesahan perubahan UUD 1945 oleh MPR selambat-lambatnya pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002.

Materi mengenai DPD dalam UUD NRI 1945 tercantum pada Bab VIIA Pasal 22D dan 22E. Untuk usulan Pasal 22E ayat (2), diajukan dua alternatif. Selengkapnya, usulan kedua pasal tersebut, yaitu:
Bab VIIA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22D
  1. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
  2. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
  3. Susunan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.
Pasal 22E
  1. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Alternatif  1
  1. Dewan Perwakilan Daerah memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak; fiskal; agama; otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Alternatif 2
  1. Dewan Perwakilan Daerah memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak; fiskal; agama, serta ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
  2. Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang megenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak dan fiskal, dan agama serta meyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
  3. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya berdasarkan putusan Dewan Kehormatan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Daerah apabila terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana penyuapan, korupsi, dan tindak pidana lainnya yang diancam dengan hukuman pidana penjara lima tahun atau lebih, atau melakukan perbuatan yang tercela lainnya.
BP MPR kemudian menyiapkan kegiatan yang meliputi penggalian aspirasi masyarakat, pembahasan dan perumusan rancangan, uji sahih rumusan dan pembahasan akhir. Untuk keperluan ini dibentuklah Panitia Ad Hoc I (PAH I).

Jalan menuju pembentukan sistem bikameral tidak semulus yang diharapkan. Upaya yang selanjutnya dilakukan adalah menghilangkan utusan daerah dan utusan golongan dalam MPR. Namun, upaya ini menimbulkan reaksi pro-kontra.

Berdasarkan Keputusan MPR No. 7/MPR/2001 dibentuk Komisi A yang bertugas memusyawarahkan dan mengambil putusan mengenai Rancangan Perubahan UUD 1945 dan Usul Rancangan Ketetapan MPR tentang Pembentukkan Komisi Konsitusi. Jumlah anggota Komisi A sebanyak 162 orang yang terdiri dari:
  1. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan (42 orang)
  2. Fraksi Partai Golkar (43 orang)
  3. Fraksi Utusan Golongan (16 orang)
  4. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (15 orang)
  5. Fraksi Kebangkitan Bangsa (13 orang)
  6. Fraksi Reformasi (11 orang)
  7. Fraksi TNI/POLRI (11 orang)
  8. Fraksi Partai Bulan Bintang (3 orang)
  9. Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (4 orang)
  10. Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah (3 orang)
  11. Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa (1 orang)
Ketua Komisi A adalah Jakob Tobing (F-PDIP). Wakil Ketua Komisi A terdiri dari Slamet Effendy Yusuf (F-PG), Harun Kamil (F-UG), Zain Badjeber (F-PPP) dan Maruf Amin (F-KB).

Mekanisme pembahasan dilakukan tiap bab dengan dua putaran. Pada putaran pertama, pembahasan melalui curah pendapat anggota Komisi A. Lalu diteruskan dengan putaran kedua yang merupakan pendapat fraksi. Hasil pembahasan tiap fraksi tersebut dilanjutkan dengan lobi.

Selanjutnya, dilakukan perumusan oleh tim lobi dan tim perumus yang terdiri dari pimpinan komisi dan satu orang wakil dari masing-masing fraksi.

Dalam pembahasan di komisi A tersebut, dalam Pasal 2 ayat (1) muncul dua alternatif.  Pertama, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum ditambah dengan UG. Kedua, keberadaan UG dihapuskan dari susunan MPR. Hampir seluruh fraksi di Komisi A memilih alternatif kedua. Namun, hal ini ditolak tegas oleh F-UG sehingga sempat mengalami deadlock.

Sementara di sisi lain, Fraksi TNI dan Polri, yang dipilih berdasarkan pengangkatan, tidak lagi memaksa untuk menjadi wakil di MPR pada periode transisi hingga tahun 2009, meski jalan keluar yang disepakati adalah mengurangi jumlah keanggotaan fraksinya. Hal ini disebabkan karena TNI dan POLRI tidak memiliki hak pilih.

Suasana deadlock ini memicu bergulirnya ide perlu dibentuknya Panitia Nasional Perubahan UUD 1945 atau Komisi Konstitusi yang secara independen membahas perubahan UUD 1945. Hal ini demi menghindari campur tangan kepentingan politik dibandingkan bila dilakukan di dalam tubuh MPR. Gagasan ini diadvokasikan oleh Koalisi untuk Konstitusi Baru, sebuah koalisi yang terdiri dari berbagai organisasi non-pemerintah dan individu untuk mendorong dibentuknya konstitusi baru melalui Komisi Konstitusi. Namun ide ini ditolak oleh beberapa fraksi yang ada di Komisi A. Alasannya, sudah ada BP MPR dan tim ahli yang mengerjakan pekerjaan Komisi Konstitusi tersebut.

Pada Sidang Paripurna ke-7, pada tanggal 8 November 2001, Komisi A menyampaikan hasil pembahasannya yang disahkan keesokan harinya sebagai bagian dari perubahan ketiga UUD 1945. Rumusan ini akhirnya disetujui sebagai bagian dari UUD 1945 yang diamandemen. Ketentuan mengenai DPD yang disetujui adalah sebagai berikut:

Bab VIIA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22 C
  1. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
  2. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
  3. Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
  4. Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.
Pasal 22D
  1. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
  2. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
  3. Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
  4. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
  1. DPD dan Sejarah Konsep Bikameral a la Indonesia
Gagasan mengenai sistem perwakilan bikameral di Indonesia yang mengemuka pada amandemen UUD 1945, tahun 1999-2002, berangkat dari kritik terhadap struktur ketatanegaraan yang dianut di Indonesia, terutama hubungan antara MPR, DPR, dan Presiden. Pemikiran mengenai hal ini telah digulirkan jauh sebelum amandemen terhadap pasal mengenai MPR dilakukan pada tahun 2001, salah satunya dikemukakan oleh PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia) pada tahun 2000.

PSHK melakukan penelitian mengenai sistem ketatanegaraan, yang dituangkan dalam bukunya yang bertajuk “Semua Harus Terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia” (Jakarta: PSHK, 2000). Studi ini menunjukkan adanya beberapa persoalan mendasar dalam struktur MPR.

Adapun permasalahan-permasalahan tersebut adalah, Pertama, permasalahan representasi. Total keanggotaan MPR sebelum amandemen UUD 1945 ditetapkan sebanyak 1000 orang (sebelumnya 900 orang). Dari jumlah tersebut, terdapat 425 orang (sebelumnya 400 orang) anggota DPR yang merangkap sebagai anggota MPR (anggota MPR/DPR) dan sisanya merupakan anggota MPR yang bukan merupakan anggota DPR, yaitu Utusan Daerah (UD) dan Utusan Golongan (UG). Dengan demikian, ada dua jenis keanggotaan MPR, yaitu: anggota MPR/DPR dan anggota MPR yang bukan anggota DPR. Belum ada penjelasan yang memadai tentang struktur MPR tersebut serta alasan mengapa ada lembaga MPR dan DPR yang terpisah. Alasan yang bisa diperkirakan, menurut Bagir Manan, adalah keanggotaan MPR diperluas dengan hadirnya utusan daerah dan utusan golongan, di samping anggota DPR itu sendiri (Bagir Manan, Republika 8 Juni 2000).

Lebih jauh lagi, Utusan Golongan dan Utusan Daerah tidak merepresentasikan kelompok masyarakat yang diwakilinya secara nyata. Utusan Golongan dimaksudkan mewakili kelompok-kelompok masyarakat yang tidak partisan partai politik. Namun, mekanisme penentuan “golongan” tidak jelas. Pada kenyataannya, anggota Utusan Golongan berasal dari golongan cendekiawan hingga bintang film. Pertanyaan retorik muncul: apakah “golongan” yang dimaksud dirasa belum cukup terwakilkan dalam partai politik?

Masalah representasi juga menyangkut intervensi dan dominasi politik Presiden terhadap penentuan anggota MPR yang dipilih melalui pengangkatan. Hal ini terefleksikan dalam UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Proses pengangkatan ini dilakukan melalui Keputusan Presiden. Anggota utusan daerah pada prakteknya merupakan hasil pemilihan eksklusif anggota DPRD Provinsi.

Kedua, ada ketidakjelasan sistem perwakilan yang dianut yang menyebabkan tidak berjalannya mekanisme checks and balances. Peran lembaga legislatif praktis hanya dilaksanakan oleh DPR, sementara anggota MPR dari utusan daerah dan utusan golongan tidak bisa dikategorikan sebagai legislatif karena kerjanya yang terbatas setiap lima tahun. Sehingga, berangkat dari keinginan untuk mengefektifkan utusan daerah, gagasan bikameral kembali dilirik.
Penjelasan sederhananya, dalam sistem perwakilan satu kamar (unikameral), hanya ada satu dewan yang menjalankan kekuasaan legislatif secara penuh. Sementara dalam sistem bikameral, ada dua “kamar” dalam parlemen yang bekerja berdampingan. Biasanya, kamar pertama merepresentasikan jumlah penduduk, seperti yang dapat dilihat pada DPR. Sedangkan kamar kedua merepresentasikan konstituensi yang berbeda. Pada model Westminster (Inggris), yang diwakilkan adalah orang-orang terpilih (bangsawan atau golongan tertentu) dan pada model Amerika Serikat, yang diwakilkan adalah wilayah di dalam negara itu. Dua model inilah yang dikenal luas, tentu dengan berbagai variannya.

Dua model ini lahir dari situasi politik yang berbeda. Model Westminster lahir karena “evolusi” sistem pemerintahan di Inggris selama berabad-abad. Sehingga pada suatu saat tradisi feodal yang dimoderenkan membuat para bangsawan dikelompokkan dalam kamar tersendiri dalam parlemen. Maka anggota kamar kedua biasanya hasil penunjukan, bukan pemilihan. Negara-negara lain pun, yang umumnya bekas jajahan Inggris (misalnya Kanada), kemudian mengikuti model ini. Karena sifat feodalistiknya ini, keberadaan House of Lords di Inggris sendiri mulai dipertanyakan dan sudah ada kampanye agar anggota House of Lords dipilih oleh rakyat. Di sisi lainnya, model Amerika Serikat lahir karena kebutuhan mengelola -secara ekonomi dan politik- wilayah yang demikian besar dan masyarakat yang plural dalam suatu negara. Oleh sebab itulah, model kedua ini menjadi terlihat lebih dekat dengan konsep negara federal. Meski sebenarnya persoalan “fakta” geopolitik mestinya dipisahkan dengan “disain bentuk negara” (federal atau kesatuan). 

Terlihat dari uraian di atas, dalam konteks Indonesia, model kedua dianggap lebih relevan, yaitu suatu parlemen bikameral dengan kamar kedua yang dipilih oleh wilayah-wilayah yang perlu diwakilkan dalam parlemen. Namun masalahnya, karena seakan identik dengan negara federal, konsep ini menjadi tidak diterima secara utuh sewaktu proses amandemen konstitusi berlangsung. “Hantu” federalisme dianggap bisa membawa perpecahan dan pemisahan diri. Apalagi, seperti dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, referensi bikameral dalam konteks sejarah Indonesia hanyalah Senat RIS pada masa penerapan federalisme, yang dipaksakan Belanda untuk memecah dan mengokupasi kembali wilayah-wilayah nusantara.

Sehingga menjadi suatu pertanyaan besar dalam konteks ini, yaitu akankah bikameralisme mendorong federalisme dan kemudian perpecahan (balkanisasi)? Politik, tentu saja bukan seperti ramalan cuaca yang bisa diperkirakan dengan akurat. Namun satu faktor penting yang perlu dilihat adalah berubahnya pola hubungan pusat dan daerah sendiri sejak 1999. Perubahan ini diawali dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Lalu Amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 mempertegas perubahan ini dengan menyatakan dalam Pasal 18 UUD NRI 1945 bahwa “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.”

Pernyataan mengenai ‘otonomi luas’ ini mengandung gagasan pemberdayaan politik dan ekonomi daerah. Secara implisit ada pernyataan bahwa pemerintahan daerah harus lebih banyak berperan, dan pada saat yang bersamaan pemerintah pusat harus memfasilitasinya. Fasilitasi
PERWAKILAN DAERAH)

Selasa, 22 September 2015

Rangkuman


PENGERTIAN
PENJELASAN
KETERANGAN
Definisi hukum
hukum banyak seginya dan demikian luasnya, sehingga tidak mungkin orang dapat membuat definisi secara memuaskan
Pendapat L.J. van Apeldoorn
ciri-ciri dari hukum
1.   adanya perintah dan/atau larangan;
2.   perintah dan/atau larangan harus ditaati setiap orang;
3.   adanya sanksi hukum yang tegas dan dapat dipaksakan oleh instansi yang berwenang.

Definisi hukum
persoalan mengenai definisi hukum adalah tidak semudah seperti yang disangka orang semula. Secara logis haruslah lebih dahulu ditemukan genus-nya yaitu pada genus mana res termasuk, kemudian sifat-sifat khusus yang membedakannya dari species lain pada genus yang sama. Pemilihan genus akan ditentukan oleh apa yang menjadi tujuan kita
Pendapat G.W. Paton
pameo atau adagium yang berbunyi definitie per genus et differentiam
Artinya : memberi definisi itu dengan menyebutkan jenisnya (genus-nya) dan ciri-cirinya atau perbedaan-perbedaannya

Masyarakat teritorial
Suatu masyarakat yang terbentuk karena mempunyai tempat tinggal yang sama, disebut sebagai bentuk masyarakat

Masyarakat genealogis
Suatu masyarakat yang terbentuk karena mempunyai pertalian darah, disebut sebagai bentuk masyarakat

Rasio adanya Hukum
Adanya penggeseran atau konflik kepentingan manusia

Fungsi hukum
Melindungi kepentingan manusia dengan jalan mentertibkan agar tercipta kedamaian hidup bersama.

Mekanisme pengendalian sosial
Adalah sebagai proses yang di rencanakan dan bertujuan untuk menganjurkan, mengajak , menyuruh bahkan memaksa anggot masyarakat utk memetuhi norma-norma hokum yang sedang berlaku.

Jenis-jenis pengendalian sosial
1.     Yang bersifat Preventif, yaitu pencegahan terhadap gangguan keseimbangan antara stabilitas dan fleksibilitas masyarakat.
2.     Yang bersifat Represif, yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu.

Penggunaan hukum sebagai alat atau instrument
Adalah untuk mengatur masyarakat, menyelenggarakan tatatertib dan keadilan dalam masyarakat, serta menyelenggarakan kebahagiaan material dan spiritual bagi seluruh anggota masyarakat.
(Soekanto, 1978 : 60)
Tiga Teori tentang tujuan hukum
1.     Teori Etis, tujuan hokum adalah semata mata untuk mencapai keadilan.
2.     Teori Utilitis, Tujuan hukun adalah menjamin tercapainya kebahagiaan sebesar-besarnya untuk semua orang yang sebanyak-banyaknya.
3.     Teori Campuran, yaitu gabungan antara kedua teori Etis dan Teori Utilitis.

Kekuasaan
Merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain guna menuruti kehendak dari pihak pemegang kuasa.

Defenisi Sumber hukum
Pada hakikatnya sumber hukum  adalah sebagai tempat kita menemukan hukum atau menggali hukum, atau diartikan juga sebagai sumber pengenal (kenbron) dan sumber asal (welbron).

Dua Sumber hukum
1.     Sumber hukum material, (a material source of low) adalah sumber di perolehnya bahan atau materi hukum, dan bukan berkaitan dengan kekuatan pelakunya.
2.     Sumber hukum formal (a formal source of low), adalah sebagai sumber dari sumber mana suatu peraturan hukum memperoleh kekuatan dan sah pelakunya .

Undang-undang dalam arti formal
Setiap keputusan atau ketetapan dari pemerintah.

Undang-undang dalam Arti material
Adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Jadi yang mejadi tolak ukur adalah isi.

Konsekuensi adanya hierarchie
1.     Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi kedudukannya, mempunyai keduduka yang lebih tinggi pula.
2.     Peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya,
3.     Peraturan yang lebih tinggi tidak dapat di rubah atau dihapuskan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah kedudukannya,  kecuali ada pendelegasian tentang kewenangan peraturan perundang-undangan.