Sabtu, 12 September 2015

Manajemen Pertanahan




MANAJEMEN PERTANAHAN



Manajemen Pertanahan merupakan suatu usaha dan kegiatan suatu organisasi dan manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan pemerintah di bidang pertanahan dengan mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.[1]
Jadi yang dimaksud dengan manajemen pertanahan adalah upaya pemerintah di bidang pertanahan dalam menentukan dan mencapai sasaran dengan memanfaatkan sumber daya baik manusia maupun material melalui koordinasi dengan menjalankan fungsi-fungsi :
1.    Planning (perencanaan).
2.   Executing atau pelaksanaan rencana dalam mencapai tujuan melalui pengambilan keputusan, pengendalian sumber daya atau pelaksanaan fungsi manajemen dan perintah-perintah.
3.   Organizing atau membentuk organisasi dan menata kelompok manusia serta hubungan satu sama lain.
4.   Persuading yaitu mendorong kelompok manusia tersebut untuk bekerjasama, berkomunikasi, memberi perintah, memberi laporan, menanamkan pengertian, penghargaan, gaji, dan insentif.
5.   Leading yaitu kemampuan untuk memimpin.
6.     Evaluating yaitu memberikan penilaian melalui fungsi pengawasan berupa teguran agar tercipta suatu apresiasi baik bersifat persuasif maupun motivasi.

Secara umum kegiatan-kegiatan manajemen pertanahan yang dilaksanakan secara operasional dalam praktik sehari-hari meliputi:
1.    Merencanakan penyediaan dan penggunaan tanah
      Untuk menyusun rencana penyediaan dan penggunaan tanah, Kantor Pertanahan setempat menggunakan data pokok pertanahan sebagai sumber informasi utama. Data pokok pertanahan suatu wilayah merupakan upaya penyediaan data informasi terutama bagi kegiatan pembangunan, dari segi geografi, dan kaitan penggunaan tanah yang direkam dalam suatu waktu tertentu.[2] Agar informasi tersebut tetap aktual maka harus dilakukan pemutakhiran data secara terus menerus. Demikian pula jenis-jenis data dari waktu ke waktu terus dikembangkan seiring dengan dinamika dan kemajuan kegiatan dan kebutuhan masyarakat terhadap lokasi-lokasi tertentu.
      Hasil kegiatan pengumpulan dan pengolahan data pokok adalah peta yang menguraikan data dari berbagai segi (jumlahnya + 39 peta) antara lain peta himpunan tanah, kependudukan, perumahan, status tanah, kegiatan pendidikan, kesehatan, sumber air bersih, bahkan data kemacetan lalu lintas. Lingkup wilayah yang di data mulai dari wilayah kota, bagian kota, kecamatan, sampai dengan kelurahan.

2.   Pertimbangan aspek tata guna tanah
      Aspek tata guna tanah merupakan hasil kajian dari segi tata guna tanah terhadap suatu lokasi tertentu dalam kaitan dengan rencana kegiatan suatu pembangunan atau dalam rangka pemberian hak atas tanah.
      Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan peruntukan, penggunaan, dan persediaan tanah secara berencana dan teratur sehingga diperoleh manfaat yang lestari, optimal, seimbang, dan serasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara[3]. Dengan demikian, kegiatan tata guna tanah atau penatagunaan tanah merupakan pengaturan penggunaan tanah, yang meliputi penggunaan permukaan bumi di daratan dan penggunaan permukaan bumi di lautan.
      Untuk sampai pada suatu perencanaan yang matang dalam pengembangan tata guna tanah, perlu dilakukan sejumlah langkah-langkah yang meliputi[4]:
a.   keterpaduan antar instansi sehingga tidak lagi berpikir secara sektoral;
b.   berbagai kendala yang harus diatasi seperti tidak meratanya penduduk di seluruh Indonesia, terutama di pulau-pulau tertentu sehingga tidak mungkin penerapan yang seragam dari tata guna tanah tersebut. Sebaliknya bertambah berkembangnya kota-kota karena urbanisasi, baik tidak adanya lapangan kerja di Indonesia, fasilitas sosial yang lebih baik di kota-kota, perencanaan pemukiman kota yang belum mengacu kepada pembatasan pembangunan perumahan. keamanan dan ketenangan yang sudah terganggu di pedesaan, fasilitas pendidikan yang tidak merata di seluruh Indonesia;
c.    berbagai produk hukum dalam meninjau sesuatu objek berlainan solusinya;
d.   belum adanya daftar yang mantap atas seluruh aset yang ada seperti hak-hak atas tanah yang ada, jenis-jenis hak, kemampuan dari tanah-tanah tersebut, penggunaannya yang belum tertib, masih tidak teraturnya penggunaan tanah, adanya industri di daerah pemukiman dan sebagainya;
e.   keterkaitan antara perpajakan dengan pemukiman yang belum terbina dengan baik. Di satu pihak, perpajakan berusaha mendapatkan pajak yang sebanyak-banyaknya, di sisi lain, rakyat golongan menengah dan kecil yang tidak dapat membayar pajak tersebut sebagai akibat inflasi dan penurunan nilai uang yang mereka terima;
f.    perkembangan industri yang mempergunakan tanah-tanah pertanian yang subur dan berdampak mengganggu keswasembadaan pangan nasional, termasuk dalam hal ini industri pariwisata dan pemukiman mewah yang mempergunakan tanah-tanah yang seyogianya sebagai wadah penampungan air atau tempat resapan air.

      Hasil kajian dari segi tata guna tanah itu berupa fatwa tata guna tanah. Setiap pertimbangan aspek tata guna tanah harus merupakan satu kesatuan pendapat berupa Fatwa Panitia Pemeriksaan Tanah A dan B dalam bentuk Risalah Pemeriksaan Tanah.
      Salah satu fungsi pemberian pertimbangan aspek tata guna tanah adalah dalam rangka memberikan pengarahan menuju tata guna tanah secara rasional, memberikan pedoman pemecahan masalah penggunaan tanah dan memberikan informasi mengenai kecenderungan dan arah perkembangan pola penggunaan tanah.[5]  Pertimbangan aspek tata guna tanah juga digunakan dalam penilaian atas permohonan hak atas tanah sepanjang terdapat perubahan penggunaan tanah.
3.   Pengadaan dan penataan penguasaan tanah
      Informasi mengenai berapa luas tanah negara dan tanah beridentitas hak atas tanah serta penguasaannya merupakan data yang sangat diperlukan untuk digunakan sebagai bahan perencanaan suatu kegiatan pembangun-an dan rencana penguasaan tanahnya.
      Perencanaan penggunaan tanah mempunyai arti penting karena merupakan satu kesatuan dengan penentuan hak atas tanah. Hak atas tanah pada hakikatnya adalah suatu kewenangan yang diberikan oleh pemerintah kepada seseorang atau badan hukum untuk menggunakan tanah tersebut dalam batas-batas menurut ketentuan UU (Pasal 4 UUPA). Dengan demikian, merencanakan penggunaan dan penguasaan tanah sebenarnya juga merencanakan segi legalitasnya yaitu hak-hak atas tanah apa yang harus diberikan sesuai dengan penggunaannya.
4.   Koordinasi penanganan masalah pertanahan
      Koordinasi dalam pemerintahan pada hakikatnya merupakan upaya memadukan (mengintegrasikan), menyerasikan dan menyelaraskan berbagai kepentingan dan kegiatan yang saling terkait beserta segenap gerak, langkah dan waktunya dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran bersama.[6]
      Dalam menangani masalah pertanahan, koordinasi terutama diperlukan untuk mengidentifikasikan jenis permasalahan yang timbul. Ada 3 kategori penyebab timbulnya permasalahan dalam bidang pertanahan, yaitu:[7]
a.   Masalah pertanahan yang bersifat administratif, yaitu masalah-masalah yang menyangkut tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban oleh pemegang hak sesuai persyaratan yang ditetapkan dan sesuai ketentuan yang berlaku, misalnya pemegang hak berubah kewarganegaraan, tumpang tindih pemegang hak (sertifikat ganda) karena kekeliruan administrasi.
b.   Masalah yang bersifat yuridis perdata, yaitu masalah-masalah yang menyangkut gugatan terhadap suatu dasar hak/peralihan hak yang digunakan sebagai dasar pemberian hak atas tanah (originair) atau pencatatan pemindahan hak/balik nama (derivatif). Misalnya tanah dijual dua kali.
c.    Masalah yang bersifat yuridis administratif, yaitu masalah yang menyangkut perselisihan mengenai suatu hak utama (prioritas) untuk memperoleh hak atas tanah seperti sengketa yang menyangkut batas tanah karena penunjukan batas yang tidak benar.
      Setelah penyebab timbulnya masalah dapat diidentifikasi, koordinasi penanganan masalah pertanahan dapat dilakukan di antara berbagai instansi yang berwenang, misalnya antara aparat Kantor Pertanahan Kota dengan Kanwil Badan Pertanahan Propinsi.

5.   Peningkatan pelayanan pertanahan
      Pelayanan merupakan salah satu fungsi pokok yang harus dilaksanakan oleh setiap instansi pemerintah termasuk juga instansi Badan Pertanahan Nasional. Kondisi ideal bagi suatu pelayanan telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Penertiban dan Pendayagunaan Aparatur Negara No. 06/1995 yang menguraikan bahwa pelayanan yang baik harus mengandung hal-hal sebagai berikut :
a.   Kesederhanaan dalam prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi masyarakat pengguna jasa pelayanan.
b.   Kejelasan dan kepastian mengenai hak-hak dan kewajiban penerima pelayanan serta kejelasan dalam hal pembagian tugas bagi petugas pelayanan.
c.    Keamanan, dalam arti hasil pelayanan terjamin kebenarannya, sah, pasti, dan menjamin perlindungan hukum sebagai alat bukti yang sah.
d.   Keterbukaan mengenai mekanisme dan tata cara peraturan pelayanan yang diinformasikan secara terbuka, luas dan mudah dimengerti oleh masyarakat.
e.   Efisien, dalam arti menetapkan pola pelayanan yang tepat, mekanisme dan prosedur pelayanan sesuai struktur organisasi, serta menggunakan sarana secara optimal.
f.    Ekonomis dalam hal biaya pelayanan.
g.   Keadilan yang merata bagi seluruh masyarakat tanpa membedakan status sosialnya.
h.   Ketepatan waktu dalam setiap tahap proses pelayanan.
i.    Kuantitatif pelayanan, yang meliputi jumlah permintaan pelayanan, waktu pemberian pelayanan, penggunaan perangkat modern, dan frekuensi keluhan/pujian.
      Bentuk dan sistem pelayanan harus ditetapkan oleh masing-masing Kantor Pertanahan disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik wilayahnya. Selain itu, untuk mengatasi kekurangan sumber daya manusia yang dapat menghambat pemberian pelayanan secara cepat, Kantor Pertanahan dapat mendelegasikan wewenang suatu penanganan pelayanan kepada unit kerja yang belum optimal atau dengan menyerahkan kepada sektor swasta.

6.   Pengawasan pelaksanaan penggunaan tanah
      Dalam menentukan apakah permohonan suatu izin lokasi dapat direkomendasikan ditentukan oleh informasi dan dokumen yang diperlihatkan oleh pemohon. Kantor Pertanahan hanya mencocokkan data penggunaan tanah yang ada dengan perbandingan/skala besar yang merupakan hasil survei secara umum dan berkala. Dengan demikian tingkat akurasi data sering tidak memadai dalam menjawab informasi yang dibutuhkan. Penelitian terhadap permohonan izin lokasi hanya mengacu pada proposal/rencana pembangunan yang disesuaikan dengan rencana pembangunan kota/daerah.
      Selanjutnya setelah izin lokasi diterima oleh pemohon, pelaksanaan pengadaan tanah didasarkan pada ketentuan dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah, yaitu bahwa pelaksanaan pengadaan tanah oleh pemerintah dengan luas tidak lebih dari 1 ha dan pengadaan tanah oleh swasta dapat dilakukan langsung oleh pimpinan proyek atau investor yang bersangkutan. Dengan demikian pengawasan dan pengendalian suatu kegiatan pengadaan tanah hanya terbatas pada laporan kemajuan dari pimpinan proyek atau investor secara berkala kepada Kepala Daerah dan/atau Kantor Pertanahan setempat.
      Dalam melaksanakan fungsi perencanaan penggunaan tanah, Kantor Pertanahan berperan aktif untuk memutakhirkan data pokok yang bisa menjadi sumber informasi yang lengkap dan aktual sebagai bahan pengendalian penggunaan tanah. Selama ini, tugas yang diberikan kepada Kantor Pertanahan hanya bersifat pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian izin lokasi kepada pimpinan proyek atau investor sesuai dengan Surat Edaran Kepala BPN No. 580.2-5568-DIII tanggal 6 Desember 1990 dan No. 580-2-3071 tanggal 23 September 1991 tentang Mekanisme dan Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Pengadaan Tanah.


[1] Murad, loc. cit.
[2] Ibid, hal. 61
[3] R. Soeprapto, Undang-undang Pokok Agraria dalam Praktek, Jakarta, UI Press. 1986, hal 75
[4] A.P. Parlindungan, Komentar atas UU Penataan Ruang (UU No. 24 Tahun 1992), Bandung Mandar Maju, 1993, hal, 38 – 39.
[5] Murad, op. cit., hal. 63
[6] Ibid, hal. 66
[7] Murad, loc. cit.

1 ulasan: