[Tulisan ini sebagian disadur dari buku yang dibuat oleh Tim Peneliti PSHK, Semua
Harus Terwakili,
(Jakarta: PSHK, 2000) dan tulisan-tulisan Bivitri Susanti]
Oleh: Bivitri Susanti, Herni Sri Nurbayanti dan Fajri Nursyamsi
Sumber: http://gudangpikiran.weebly.com/2/post/2012/11/sejarah-dpd-dewan-perwakilan-daerah.html
- Gagasan Awal pada Sejarah
Pembentukan DPD
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lahir
pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD yang terpilih untuk pertama
kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada awal pembentukannya, masih banyak
tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya
yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam
sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga
jauh dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak
banyak dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini.
Bila dibandingkan dari segi kelahiran lembaganya, DPD memang jauh lebih muda
dari DPR, karena DPR lahir sejak tahun 1918 (dulu bernama Volksraad).
Namun, apabila dilihat dari segi gagasannya, keberadaan lembaga seperti
DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional, sesungguhnya sudah terpikirkan
dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan. Dicatat oleh Indra J. Piliang
dalam sebuah buku yang diterbitkan DPD, bahwa pemikiran ini lahir pertama kali
dalam konferensi GAPI pada 31 Januari 1941 (Kelompok DPD di MPR RI, 2006: 15).
Gagasan tersebut terus bergulir, sampai pada masa pendirian Republik ini pun,
gagasan untuk membentuk lembaga perwakilan daerah di parlemen nasional ikut
dibahas. Gagsan tersebut dikemukakan oleh Moh. Yamin dalam rapat perumusan UUD
1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Dikatakannya:
Kekuasaan yang dipegang oleh permusyawaratan oleh seluruh rakyat Indonesia
diduduki, tidak saja oleh wakil daerah-daerah Indonesia, tetapi semata-mata
pula oleh wakil golongan atau rakyat Indonesia seluruhnya, yang dipilih dengan
bebas dan merdeka oleh rakyat dengan suara terbanyak. Majelis Permusyawaratan
juga meliputi segala anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kepada Majelis Presiden
bertanggung jawab. Jadi ada dua syaratnya, yaitu wakil daerah dan wakil
golongan langsung daripada rakyat Indonesia.
(Sekretariat Negara RI, 1995).
- Pengaturan Perwakilan Daerah
dalam Konstitusi Indonesia
Gagasan-gagasan akan pentingnya
keberadaan perwakilan daerah di parlemen, pada awalnya diakomodasi dalam
konstitusi pertama Indonesia, UUD 1945, dengan konsep “utusan daerah” di dalam
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang bersanding dengan “utusan golongan”
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut diatur dalam Pasal 2
UUD 1945, yang menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan
utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang
ditetapkan dengan undang-undang.” Pengaturan yang longgar dalam UUD 1945
tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan
perundang-undangan.
Dalam periode konstitusi berikutnya, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS),
gagsan tersebut diwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia Serikat yang
mewakili negara bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS.
Selanjutnya, dalam UUD Sementara (UUDS) 1950 (Undang-Undang No. 7 Tahun 1950)
tetap mengakomodasi Senat yang sudah ada sebelumnya, selama masa transisi
berlangsung. Masa transisi ini ada karena UUDS 1950, yang dibuat untuk
menghentikan federalisme ini, secara khusus mengamanatkan adanya pemilihan umum
(Pemilu) dan pemilihan anggota Konstituante untuk membuat UUD yang definitif
yang akan menjadi landasan bentuk dan pola baru pemerintahan Indonesia. Karena
itulah, penting untuk dicatat, adanya Senat dalam UUDS 1950 hanya diberlakukan
selagi Pemilu yang direncanakan belum terlaksana (kemudian terlaksana pada
tahun 1955). Dalam sistem perwakilan UUDS itu sendiri, Senat ditiadakan karena
bentuk negara tidak lagi federal.
Setelah UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, Indonesia kembali ke UUD 1945 melalui
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Konsekuensinya, “utusan daerah” kembali hadir.
Dekrit ini lantas diikuti dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 2 Tahun
1959 tentang Pembentukan MPR Sementara (MPRS) dan Penetapan Presiden No. 12
Tahun 1959 tentang Susunan MPRS. Penetapan Presiden No. 12/1959 ini menetapkan
bahwa MPRS terdiri dari anggota DPRS (hasil Pemilu 1955) ditambah utusan daerah
dan golongan karya. Anggota MPRS tidak dipilih melalui Pemilu, melainkan
melalui penunjukan oleh Soekarno (Jaweng, 2005). Kemudian Soekarno memangkas
fungsi, kedudukan, dan wewenang MPRS melalui Ketetapan MPRS No. 1 Tahun 1960
sehingga MPRS hanya bisa menetapkan GBHN, tanpa bisa mengubah UUD.
Pada masa pemerintahan Soeharto, skema ini tidak berubah. Utusan daerah sebagai
anggota MPR hanya bekerja sekali dalam lima tahun, untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden, serta menetapkan GBHN. Tidak ada hal lainnya yang dapat
dilakukan oleh utusan daerah selama lima tahun masa jabatannya. Akibatnya,
efektivitasnya sebagai wakil daerah dalam pengambilan keputusan tingkat
nasional dapat dipertanyakan. Bila dibandingkan dengan konsep parlemen dua
kamar (bikameral) yang menjadi rujukan perwakilan daerah, keberadaan utusan
daerah ini berada di luar konteks.
Perkembangan pemikiran yang signifikan kemudian muncul pada pembahasan
amandemen UUD 1945 pada 1999-2002. Perubahan pertama UUD 1945 disahkan pada
Sidang Umum MPR tahun 1999 yang berlangsung pada tanggal 14-21 Oktober 1999 dan
perubahan kedua dilakukan pada Sidang Tahunan MPR yang berlangsung pada tanggal
7-18 Agustus 2000. Setelah perubahan kedua tersebut, MPR masih memandang perlu
untuk melanjutkan ke perubahan ketiga UUD 1945. Dalam perubahan ketiga inilah
muncul gagasan untuk membentuk parlemen yang menganut sistem bikameral, yang
kemudian melahirkan secara legal formal DPD yang ada sekarang.
- Proses Lahirnya DPD dalam
Pembahasan Amandemen Ketiga UUD 1945
Munculnya gagasan bikameral bermula
dari pernyataan resmi Fraksi Utusan Golongan (F-UG) dalam rapat Badan Pekerja
MPR (BP MPR) yang ditugaskan mempersiapkan materi Sidang MPR. Fraksi UG
mengemukakan bahwa keberadaannya tidak diperlukan lagi di MPR karena merupakan
hasil pengangkatan dan bukan pemilihan. Hal ini bertentangan dengan semangat
demokrasi yang menghendaki bekerjanya prinsip perwakilan berdasarkan
pemilihan. Anggota UG memaparkan dua pilihan yang tersedia. Pertama,
konsep awal UUD 1945 yaitu MPR yang mempersatukan kelompok yang ada dalam
masyarakat. Kedua, menerapkan sistem perwakilan dua kamar dengan
memperhatikan prinsip bahwa semua wakil rakyat harus dipilih melalui Pemilu.
Lalu muncul gagasan untuk lebih meningkatkan peran UD yang perannya terbatas
pada penyusunan GBHN yang hanya dilakukan lima tahun sekali. Dalam suasana
inilah, lahir gagasan untuk melembagakan UD yang lebih mencerminkan
representasi wilayah dan bekerja secara efektif. Tidak hanya sekali dalam lima
tahun.
MPR lantas menugaskan Badan Pekerja (BP) MPR untuk melanjutkan proses perubahan
tersebut melalui Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000. Persiapan rancangan perubahan
UUD 1945 dilakukan dengan menggunakan materi-materi dalam lampiran ketetapan
yang merupakan hasil BP MPR periode 1999-2000. Ketetapan itu juga memberikan
batas waktu pembahasan dan pengesahan perubahan UUD 1945 oleh MPR
selambat-lambatnya pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002.
Materi mengenai DPD dalam UUD NRI 1945 tercantum pada Bab VIIA Pasal 22D dan
22E. Untuk usulan Pasal 22E ayat (2), diajukan dua alternatif. Selengkapnya,
usulan kedua pasal tersebut, yaitu:
Bab VIIA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22D
- Anggota Dewan Perwakilan Daerah
dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
- Anggota Dewan Perwakilan Daerah
dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan
Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat.
- Susunan Dewan Perwakilan Daerah
diatur dengan undang-undang.
Pasal 22E
- Dewan Perwakilan Daerah dapat
mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
Alternatif 1
- Dewan Perwakilan Daerah
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak; fiskal; agama; otonomi daerah;
hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Alternatif 2
- Dewan Perwakilan Daerah
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak; fiskal; agama, serta ikut
membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah;
hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
- Dewan Perwakilan Daerah dapat
melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang megenai: otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi, pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja negara, pajak dan fiskal, dan agama serta
meyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
- Anggota Dewan Perwakilan Daerah
dapat diberhentikan dari jabatannya berdasarkan putusan Dewan Kehormatan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Daerah apabila terbukti melakukan
pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana penyuapan, korupsi, dan
tindak pidana lainnya yang diancam dengan hukuman pidana penjara lima
tahun atau lebih, atau melakukan perbuatan yang tercela lainnya.
BP MPR kemudian menyiapkan kegiatan
yang meliputi penggalian aspirasi masyarakat, pembahasan dan perumusan
rancangan, uji sahih rumusan dan pembahasan akhir. Untuk keperluan ini
dibentuklah Panitia Ad Hoc I (PAH I).
Jalan menuju pembentukan sistem bikameral tidak semulus yang diharapkan. Upaya
yang selanjutnya dilakukan adalah menghilangkan utusan daerah dan utusan
golongan dalam MPR. Namun, upaya ini menimbulkan reaksi pro-kontra.
Berdasarkan Keputusan MPR No. 7/MPR/2001 dibentuk Komisi A yang bertugas
memusyawarahkan dan mengambil putusan mengenai Rancangan Perubahan UUD 1945 dan
Usul Rancangan Ketetapan MPR tentang Pembentukkan Komisi Konsitusi. Jumlah
anggota Komisi A sebanyak 162 orang yang terdiri dari:
- Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia - Perjuangan (42 orang)
- Fraksi Partai Golkar (43 orang)
- Fraksi Utusan Golongan (16
orang)
- Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan (15 orang)
- Fraksi Kebangkitan Bangsa (13
orang)
- Fraksi Reformasi (11 orang)
- Fraksi TNI/POLRI (11 orang)
- Fraksi Partai Bulan Bintang (3
orang)
- Fraksi Kesatuan Kebangsaan
Indonesia (4 orang)
- Fraksi Perserikatan Daulatul
Ummah (3 orang)
- Fraksi Partai Demokrasi Kasih
Bangsa (1 orang)
Ketua Komisi A adalah Jakob Tobing
(F-PDIP). Wakil Ketua Komisi A terdiri dari Slamet Effendy Yusuf (F-PG), Harun
Kamil (F-UG), Zain Badjeber (F-PPP) dan Maruf Amin (F-KB).
Mekanisme pembahasan dilakukan tiap bab dengan dua putaran. Pada putaran
pertama, pembahasan melalui curah pendapat anggota Komisi A. Lalu diteruskan
dengan putaran kedua yang merupakan pendapat fraksi. Hasil pembahasan tiap
fraksi tersebut dilanjutkan dengan lobi.
Selanjutnya, dilakukan perumusan oleh tim lobi dan tim perumus yang terdiri
dari pimpinan komisi dan satu orang wakil dari masing-masing fraksi.
Dalam pembahasan di komisi A tersebut, dalam Pasal 2 ayat (1) muncul dua
alternatif. Pertama, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD
yang dipilih melalui pemilihan umum ditambah dengan UG. Kedua,
keberadaan UG dihapuskan dari susunan MPR. Hampir seluruh fraksi di Komisi A
memilih alternatif kedua. Namun, hal ini ditolak tegas oleh F-UG sehingga
sempat mengalami deadlock.
Sementara di sisi lain, Fraksi TNI dan Polri, yang dipilih berdasarkan
pengangkatan, tidak lagi memaksa untuk menjadi wakil di MPR pada periode
transisi hingga tahun 2009, meski jalan keluar yang disepakati adalah
mengurangi jumlah keanggotaan fraksinya. Hal ini disebabkan karena TNI dan
POLRI tidak memiliki hak pilih.
Suasana deadlock ini memicu bergulirnya ide perlu dibentuknya Panitia
Nasional Perubahan UUD 1945 atau Komisi Konstitusi yang secara independen
membahas perubahan UUD 1945. Hal ini demi menghindari campur tangan kepentingan
politik dibandingkan bila dilakukan di dalam tubuh MPR. Gagasan ini
diadvokasikan oleh Koalisi untuk Konstitusi Baru, sebuah koalisi yang terdiri
dari berbagai organisasi non-pemerintah dan individu untuk mendorong
dibentuknya konstitusi baru melalui Komisi Konstitusi. Namun ide ini ditolak
oleh beberapa fraksi yang ada di Komisi A. Alasannya, sudah ada BP MPR dan tim
ahli yang mengerjakan pekerjaan Komisi Konstitusi tersebut.
Pada Sidang Paripurna ke-7, pada tanggal 8 November 2001, Komisi A menyampaikan
hasil pembahasannya yang disahkan keesokan harinya sebagai bagian dari
perubahan ketiga UUD 1945. Rumusan ini akhirnya disetujui sebagai bagian dari
UUD 1945 yang diamandemen. Ketentuan mengenai DPD yang disetujui adalah sebagai
berikut:
Bab VIIA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22 C
- Anggota Dewan Perwakilan Daerah
dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
- Anggota Dewan Perwakilan Daerah
dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan
Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat.
- Dewan Perwakilan Daerah
bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
- Susunan dan kedudukan Dewan
Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.
Pasal 22D
- Dewan Perwakilan Daerah dapat
mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
- Dewan Perwakilan Daerah ikut
membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah;
hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan dan agama.
- Dewan Perwakilan Daerah dapat
melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan
agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
- Anggota Dewan Perwakilan Daerah
dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya
diatur dalam undang-undang.
- DPD dan Sejarah Konsep
Bikameral a la Indonesia
Gagasan mengenai sistem perwakilan bikameral di
Indonesia yang mengemuka pada amandemen UUD 1945, tahun 1999-2002, berangkat
dari kritik terhadap struktur ketatanegaraan yang dianut di Indonesia, terutama
hubungan antara MPR, DPR, dan Presiden. Pemikiran mengenai hal ini telah
digulirkan jauh sebelum amandemen terhadap pasal mengenai MPR dilakukan pada
tahun 2001, salah satunya dikemukakan oleh PSHK (Pusat Studi Hukum &
Kebijakan Indonesia) pada tahun 2000.
PSHK melakukan penelitian mengenai sistem ketatanegaraan, yang dituangkan dalam
bukunya yang bertajuk “Semua Harus Terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR
dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia” (Jakarta: PSHK, 2000). Studi ini
menunjukkan adanya beberapa persoalan mendasar dalam struktur MPR.
Adapun permasalahan-permasalahan tersebut adalah, Pertama, permasalahan
representasi. Total keanggotaan MPR sebelum amandemen UUD 1945 ditetapkan
sebanyak 1000 orang (sebelumnya 900 orang). Dari jumlah tersebut, terdapat 425
orang (sebelumnya 400 orang) anggota DPR yang merangkap sebagai anggota MPR
(anggota MPR/DPR) dan sisanya merupakan anggota MPR yang bukan merupakan
anggota DPR, yaitu Utusan Daerah (UD) dan Utusan Golongan (UG). Dengan
demikian, ada dua jenis keanggotaan MPR, yaitu: anggota MPR/DPR dan anggota MPR
yang bukan anggota DPR. Belum ada penjelasan yang memadai tentang struktur MPR
tersebut serta alasan mengapa ada lembaga MPR dan DPR yang terpisah. Alasan
yang bisa diperkirakan, menurut Bagir Manan, adalah keanggotaan MPR diperluas
dengan hadirnya utusan daerah dan utusan golongan, di samping anggota DPR itu
sendiri (Bagir Manan, Republika 8 Juni 2000).
Lebih jauh lagi, Utusan Golongan dan Utusan Daerah tidak merepresentasikan
kelompok masyarakat yang diwakilinya secara nyata. Utusan Golongan dimaksudkan
mewakili kelompok-kelompok masyarakat yang tidak partisan partai politik.
Namun, mekanisme penentuan “golongan” tidak jelas. Pada kenyataannya, anggota
Utusan Golongan berasal dari golongan cendekiawan hingga bintang film.
Pertanyaan retorik muncul: apakah “golongan” yang dimaksud dirasa belum cukup
terwakilkan dalam partai politik?
Masalah representasi juga menyangkut intervensi dan dominasi politik Presiden
terhadap penentuan anggota MPR yang dipilih melalui pengangkatan. Hal ini
terefleksikan dalam UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
dan DPRD. Proses pengangkatan ini dilakukan melalui Keputusan Presiden. Anggota
utusan daerah pada prakteknya merupakan hasil pemilihan eksklusif anggota DPRD
Provinsi.
Kedua, ada ketidakjelasan sistem perwakilan yang dianut yang menyebabkan
tidak berjalannya mekanisme checks and balances. Peran lembaga
legislatif praktis hanya dilaksanakan oleh DPR, sementara anggota MPR dari
utusan daerah dan utusan golongan tidak bisa dikategorikan sebagai legislatif
karena kerjanya yang terbatas setiap lima tahun. Sehingga, berangkat dari
keinginan untuk mengefektifkan utusan daerah, gagasan bikameral kembali
dilirik.
Penjelasan sederhananya, dalam sistem perwakilan satu kamar (unikameral), hanya
ada satu dewan yang menjalankan kekuasaan legislatif secara penuh. Sementara
dalam sistem bikameral, ada dua “kamar” dalam parlemen yang bekerja
berdampingan. Biasanya, kamar pertama merepresentasikan jumlah penduduk,
seperti yang dapat dilihat pada DPR. Sedangkan kamar kedua merepresentasikan
konstituensi yang berbeda. Pada model Westminster (Inggris), yang diwakilkan
adalah orang-orang terpilih (bangsawan atau golongan tertentu) dan pada model
Amerika Serikat, yang diwakilkan adalah wilayah di dalam negara itu. Dua model
inilah yang dikenal luas, tentu dengan berbagai variannya.
Dua model ini lahir dari situasi politik yang berbeda. Model Westminster lahir
karena “evolusi” sistem pemerintahan di Inggris selama berabad-abad. Sehingga
pada suatu saat tradisi feodal yang dimoderenkan membuat para bangsawan
dikelompokkan dalam kamar tersendiri dalam parlemen. Maka anggota kamar kedua
biasanya hasil penunjukan, bukan pemilihan. Negara-negara lain pun, yang
umumnya bekas jajahan Inggris (misalnya Kanada), kemudian mengikuti model ini.
Karena sifat feodalistiknya ini, keberadaan House of Lords di Inggris
sendiri mulai dipertanyakan dan sudah ada kampanye agar anggota House of
Lords dipilih oleh rakyat. Di sisi lainnya, model Amerika Serikat lahir
karena kebutuhan mengelola -secara ekonomi dan politik- wilayah yang demikian
besar dan masyarakat yang plural dalam suatu negara. Oleh sebab itulah, model
kedua ini menjadi terlihat lebih dekat dengan konsep negara federal. Meski
sebenarnya persoalan “fakta” geopolitik mestinya dipisahkan dengan “disain
bentuk negara” (federal atau kesatuan).
Terlihat dari uraian di atas, dalam konteks Indonesia, model kedua dianggap
lebih relevan, yaitu suatu parlemen bikameral dengan kamar kedua yang dipilih
oleh wilayah-wilayah yang perlu diwakilkan dalam parlemen. Namun masalahnya,
karena seakan identik dengan negara federal, konsep ini menjadi tidak diterima
secara utuh sewaktu proses amandemen konstitusi berlangsung. “Hantu”
federalisme dianggap bisa membawa perpecahan dan pemisahan diri. Apalagi,
seperti dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, referensi bikameral dalam
konteks sejarah Indonesia hanyalah Senat RIS pada masa penerapan federalisme,
yang dipaksakan Belanda untuk memecah dan mengokupasi kembali wilayah-wilayah
nusantara.
Sehingga menjadi suatu pertanyaan besar dalam konteks ini, yaitu akankah
bikameralisme mendorong federalisme dan kemudian perpecahan (balkanisasi)?
Politik, tentu saja bukan seperti ramalan cuaca yang bisa diperkirakan dengan
akurat. Namun satu faktor penting yang perlu dilihat adalah berubahnya pola
hubungan pusat dan daerah sendiri sejak 1999. Perubahan ini diawali dengan
lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Lalu
Amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 mempertegas perubahan ini dengan
menyatakan dalam Pasal 18 UUD NRI 1945 bahwa “Pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.”
Pernyataan mengenai ‘otonomi luas’ ini mengandung gagasan pemberdayaan politik
dan ekonomi daerah. Secara implisit ada pernyataan bahwa pemerintahan daerah
harus lebih banyak berperan, dan pada saat yang bersamaan pemerintah pusat
harus memfasilitasinya. Fasilitasi PERWAKILAN DAERAH)
(Jakarta: PSHK, 2000) dan tulisan-tulisan Bivitri Susanti]
Oleh: Bivitri Susanti, Herni Sri Nurbayanti dan Fajri Nursyamsi
Bila dibandingkan dari segi kelahiran lembaganya, DPD memang jauh lebih muda dari DPR, karena DPR lahir sejak tahun 1918 (dulu bernama Volksraad). Namun, apabila dilihat dari segi gagasannya, keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional, sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan. Dicatat oleh Indra J. Piliang dalam sebuah buku yang diterbitkan DPD, bahwa pemikiran ini lahir pertama kali dalam konferensi GAPI pada 31 Januari 1941 (Kelompok DPD di MPR RI, 2006: 15).
Gagasan tersebut terus bergulir, sampai pada masa pendirian Republik ini pun, gagasan untuk membentuk lembaga perwakilan daerah di parlemen nasional ikut dibahas. Gagsan tersebut dikemukakan oleh Moh. Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dikatakannya:
Kekuasaan yang dipegang oleh permusyawaratan oleh seluruh rakyat Indonesia diduduki, tidak saja oleh wakil daerah-daerah Indonesia, tetapi semata-mata pula oleh wakil golongan atau rakyat Indonesia seluruhnya, yang dipilih dengan bebas dan merdeka oleh rakyat dengan suara terbanyak. Majelis Permusyawaratan juga meliputi segala anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kepada Majelis Presiden bertanggung jawab. Jadi ada dua syaratnya, yaitu wakil daerah dan wakil golongan langsung daripada rakyat Indonesia.
(Sekretariat Negara RI, 1995).
Dalam periode konstitusi berikutnya, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), gagsan tersebut diwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia Serikat yang mewakili negara bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS.
Selanjutnya, dalam UUD Sementara (UUDS) 1950 (Undang-Undang No. 7 Tahun 1950) tetap mengakomodasi Senat yang sudah ada sebelumnya, selama masa transisi berlangsung. Masa transisi ini ada karena UUDS 1950, yang dibuat untuk menghentikan federalisme ini, secara khusus mengamanatkan adanya pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan anggota Konstituante untuk membuat UUD yang definitif yang akan menjadi landasan bentuk dan pola baru pemerintahan Indonesia. Karena itulah, penting untuk dicatat, adanya Senat dalam UUDS 1950 hanya diberlakukan selagi Pemilu yang direncanakan belum terlaksana (kemudian terlaksana pada tahun 1955). Dalam sistem perwakilan UUDS itu sendiri, Senat ditiadakan karena bentuk negara tidak lagi federal.
Setelah UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, Indonesia kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Konsekuensinya, “utusan daerah” kembali hadir. Dekrit ini lantas diikuti dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang Pembentukan MPR Sementara (MPRS) dan Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1959 tentang Susunan MPRS. Penetapan Presiden No. 12/1959 ini menetapkan bahwa MPRS terdiri dari anggota DPRS (hasil Pemilu 1955) ditambah utusan daerah dan golongan karya. Anggota MPRS tidak dipilih melalui Pemilu, melainkan melalui penunjukan oleh Soekarno (Jaweng, 2005). Kemudian Soekarno memangkas fungsi, kedudukan, dan wewenang MPRS melalui Ketetapan MPRS No. 1 Tahun 1960 sehingga MPRS hanya bisa menetapkan GBHN, tanpa bisa mengubah UUD.
Pada masa pemerintahan Soeharto, skema ini tidak berubah. Utusan daerah sebagai anggota MPR hanya bekerja sekali dalam lima tahun, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan GBHN. Tidak ada hal lainnya yang dapat dilakukan oleh utusan daerah selama lima tahun masa jabatannya. Akibatnya, efektivitasnya sebagai wakil daerah dalam pengambilan keputusan tingkat nasional dapat dipertanyakan. Bila dibandingkan dengan konsep parlemen dua kamar (bikameral) yang menjadi rujukan perwakilan daerah, keberadaan utusan daerah ini berada di luar konteks.
Perkembangan pemikiran yang signifikan kemudian muncul pada pembahasan amandemen UUD 1945 pada 1999-2002. Perubahan pertama UUD 1945 disahkan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 yang berlangsung pada tanggal 14-21 Oktober 1999 dan perubahan kedua dilakukan pada Sidang Tahunan MPR yang berlangsung pada tanggal 7-18 Agustus 2000. Setelah perubahan kedua tersebut, MPR masih memandang perlu untuk melanjutkan ke perubahan ketiga UUD 1945. Dalam perubahan ketiga inilah muncul gagasan untuk membentuk parlemen yang menganut sistem bikameral, yang kemudian melahirkan secara legal formal DPD yang ada sekarang.
Lalu muncul gagasan untuk lebih meningkatkan peran UD yang perannya terbatas pada penyusunan GBHN yang hanya dilakukan lima tahun sekali. Dalam suasana inilah, lahir gagasan untuk melembagakan UD yang lebih mencerminkan representasi wilayah dan bekerja secara efektif. Tidak hanya sekali dalam lima tahun.
MPR lantas menugaskan Badan Pekerja (BP) MPR untuk melanjutkan proses perubahan tersebut melalui Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000. Persiapan rancangan perubahan UUD 1945 dilakukan dengan menggunakan materi-materi dalam lampiran ketetapan yang merupakan hasil BP MPR periode 1999-2000. Ketetapan itu juga memberikan batas waktu pembahasan dan pengesahan perubahan UUD 1945 oleh MPR selambat-lambatnya pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002.
Materi mengenai DPD dalam UUD NRI 1945 tercantum pada Bab VIIA Pasal 22D dan 22E. Untuk usulan Pasal 22E ayat (2), diajukan dua alternatif. Selengkapnya, usulan kedua pasal tersebut, yaitu:
Bab VIIA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22D
Jalan menuju pembentukan sistem bikameral tidak semulus yang diharapkan. Upaya yang selanjutnya dilakukan adalah menghilangkan utusan daerah dan utusan golongan dalam MPR. Namun, upaya ini menimbulkan reaksi pro-kontra.
Berdasarkan Keputusan MPR No. 7/MPR/2001 dibentuk Komisi A yang bertugas memusyawarahkan dan mengambil putusan mengenai Rancangan Perubahan UUD 1945 dan Usul Rancangan Ketetapan MPR tentang Pembentukkan Komisi Konsitusi. Jumlah anggota Komisi A sebanyak 162 orang yang terdiri dari:
Mekanisme pembahasan dilakukan tiap bab dengan dua putaran. Pada putaran pertama, pembahasan melalui curah pendapat anggota Komisi A. Lalu diteruskan dengan putaran kedua yang merupakan pendapat fraksi. Hasil pembahasan tiap fraksi tersebut dilanjutkan dengan lobi.
Selanjutnya, dilakukan perumusan oleh tim lobi dan tim perumus yang terdiri dari pimpinan komisi dan satu orang wakil dari masing-masing fraksi.
Dalam pembahasan di komisi A tersebut, dalam Pasal 2 ayat (1) muncul dua alternatif. Pertama, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum ditambah dengan UG. Kedua, keberadaan UG dihapuskan dari susunan MPR. Hampir seluruh fraksi di Komisi A memilih alternatif kedua. Namun, hal ini ditolak tegas oleh F-UG sehingga sempat mengalami deadlock.
Sementara di sisi lain, Fraksi TNI dan Polri, yang dipilih berdasarkan pengangkatan, tidak lagi memaksa untuk menjadi wakil di MPR pada periode transisi hingga tahun 2009, meski jalan keluar yang disepakati adalah mengurangi jumlah keanggotaan fraksinya. Hal ini disebabkan karena TNI dan POLRI tidak memiliki hak pilih.
Suasana deadlock ini memicu bergulirnya ide perlu dibentuknya Panitia Nasional Perubahan UUD 1945 atau Komisi Konstitusi yang secara independen membahas perubahan UUD 1945. Hal ini demi menghindari campur tangan kepentingan politik dibandingkan bila dilakukan di dalam tubuh MPR. Gagasan ini diadvokasikan oleh Koalisi untuk Konstitusi Baru, sebuah koalisi yang terdiri dari berbagai organisasi non-pemerintah dan individu untuk mendorong dibentuknya konstitusi baru melalui Komisi Konstitusi. Namun ide ini ditolak oleh beberapa fraksi yang ada di Komisi A. Alasannya, sudah ada BP MPR dan tim ahli yang mengerjakan pekerjaan Komisi Konstitusi tersebut.
Pada Sidang Paripurna ke-7, pada tanggal 8 November 2001, Komisi A menyampaikan hasil pembahasannya yang disahkan keesokan harinya sebagai bagian dari perubahan ketiga UUD 1945. Rumusan ini akhirnya disetujui sebagai bagian dari UUD 1945 yang diamandemen. Ketentuan mengenai DPD yang disetujui adalah sebagai berikut:
Bab VIIA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22 C