Khamis, 3 September 2015

PENGANTAR ILMU HUKUM_1







 
·       Apakah yang menyebabkan timbulnya hukum?
11

MENGENAL HUKUM



 
MENURUT MERTOKUSUMO 1999) UNTUK TIMBULNYA HUKUM MEMERLUKAN MINIMAL 2 ORANG berlawanan jenis disahkan oleh lembaga perkawinan maka akan menimbulkan hukum perkawinan); atau sebaliknya, hubungan tersebut hubungan yang tidak menyenangkan yaitu karena terjadi sengketa atau perselisihan.
Lebih lanjut dijelaskannya bahwa pada hakekatnya hukum baru ada apabila terjadi konflik kepentingan. Konflik kepentingan ini terjadi ketika seseorang dalam melaksanakan kepentingannya telah merugikan orang lain.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa manusia pada umumnya suka mencari benarnya sendiri. Kalau kepentingannya terganggu, ia cenderung akan menyalahkan orang lain; ia akan mempersoalkan siapa yang salah, siapa yang melanggar, siapa yang berhak, apa hukumnya. Disinilah baru dipersoalkan oleh hukum. Dengan kata lain, hukum baru timbul ketika terjadi konflik kepentingan atau pelanggaran kaidah hukum; sebaliknya kalau semua kejadian berlangsung tertib, tidak ada konflik atau pelanggaran kaidah hukum, maka tidak akan ada orang yang mempersoalkan hukum.
Untuk mengetahui, memahami dan dapat menghayati hukum, kita harus mengetahui:
1.     definisi dan/atau pengertian hukum.
2.     beberapa karakteristik dari kaidah hukum dilihat dari segi isi, sifat dan perumusan kaidah hukum.


A.    Definisi Hukum
Berikut ini definisi hukum dari beberapa sarjana yang diadaptasi dari modul 2 PIH/PTHI yang ditulis oleh Kunthoro Basuki, SH.,M.Hum
L.J. van Apeldoorn berpendapat bahwa hukum banyak seginya dan demikian luasnya, sehingga tidak mungkin orang dapat membuat definisi secara memuaskan. Lagi pula pada umumnya definisi ada ruginya, sebab tidak dapat mengutarakan keadaan yang sebenarnya dengan jelas. Hukum sebenarnya banyak sisinya, berupa-rupa dan berganti-ganti, sedangkan definisi itu menyatukan segala-galanya dalam satu rumus, harus mengabaikan hal yang berupa-rupa dan yang banyak bentuknya (Apeldoorn, 1971:13). Van Apeldoorn termasuk sarjana yang menulis buku Pengantar Ilmu Hukum yang dalam bukunya tidak membuat definisi hukum.
Kesulitan membuat definisi hukum juga dikemukakan oleh G.W. Paton, yang antara lain mengatakan bahwa persoalan mengenai definisi hukum adalah tidak semudah seperti yang disangka orang semula. Secara logis haruslah lebih dahulu ditemukan genus-nya yaitu pada genus mana res termasuk, kemudian sifat-sifat khusus yang membedakannya dari species lain pada genus yang sama. Pemilihan genus akan ditentukan oleh apa yang menjadi tujuan kita. Keyakinan lama bahwa setiap res itu hanya mempunyai satu inti sari atau substantia, telah dirubah oleh kenyataan bahwa apabila tujuan seorang penyelidik berbeda dengan tujuan penyelidik yang lain, maka demikian pula tekanannya pada aspek yang berbeda-beda (Paton, 1953 : 51).
Ada pameo atau adagium yang berbunyi definitie per genus et differentiam, artinya memberi definisi itu dengan menyebutkan jenisnya (genus-nya) dan ciri-cirinya atau perbedaan-perbedaannya (Hart, 1970 : 14–15). Contoh : burung, genus-nya adalah binatang; sedangkan differentiam-nya adalah berkaki dua, berparuh, bersayap, dapat terbang dan lain sebagainya. Demikian juga dengan hukum, kita cari dulu genus-nya, yaitu termasuk kaidah sosial yang merupakan peraturan hidup, setelah dibandingkan untuk dicari persamaan dan perbedaannya dengan kaidah-kaidah sosial yang lain, kita dapat mendapatkan ciri-ciri dari hukum, yaitu :
1.     adanya perintah dan/atau larangan;
2.     perintah dan/atau larangan harus ditaati setiap orang;
3.     adanya sanksi hukum yang tegas dan dapat dipaksakan oleh instansi yang berwenang.

Mengingat hukum banyak segi dan demikian luasnya, maka untuk membuat definisi hukum orang harus terlebih dahulu membuat moment opname, artinya menangkap sesuatu untuk dirumuskan. Apa yang telah berhasil ditangkap dan dirumuskan bersifat statis, hal tersebut tidak sesuai dengan sifat hukum yang dinamis, yang selalu berubah-ubah mengikuti keadaan masyarakat. Ingat bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, dan kepentingan manusia itu selalu berubah sesuai dengan perkembangan jamannya.
Dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, C.S.T. Kansil menyebutkan beberapa rumusan definisi hukum dari para ahli hukum atau sarjana hukum, selanjutnya atas dasar definisi-definisi tersebut ditarik kesimpulan, bahwa hukum meliputi beberapa unsur, yaitu (Kansil, 1980: 37) :
1.     Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2.     Peraturan itu diadakan oleh badan resmi yang berwajib.
3.     Peraturan itu bersifat memaksa.
4.     Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.

Kalau hukum yang sengaja dibuat bentuknya adalah peraturan perundang-undangan, sedangkan kalau hukum yang timbul dari pergaulan hidup dan selanjutnya dipositifkan oleh pihak yang berwenang adalah hukum adat atau hukum kebiasaan.
          Adanya definisi-definisi hukum yang banyak jumlahnya dan beraneka ragam, disebabkan berbedanya titik berat metode pendekatan yang digunakan untuk menentukan lahirnya hukum. Ada dua cara pendekatan yang kontroversial, yaitu :
1.     Yang dipentingkan adalah norma atau aturannya (body of rules), meskipun mereka mengetahui bahwa hukum itu ada hubungannya dengan masyarakat, tetapi tetap yang dipentingkan adalah normanya. Kalau kita ingin mengetahui batas-batas dari hukum, yang harus diselidiki lebih dahulu adalah aturan-aturannya. Selanjutnya, kalau kita hendak membentuk hukum, maka aturan-aturannya harus dipelajari dan diselidiki secara mendalam. Ini termasuk pendapat normatif.
2.     Yang dipentingkan adalah masyarakatnya, sebab hukum itu selalu berhubungan dengan masyarakat sebagai wadahnya. Kalau kita ingin mengetahui batas-batas dari hukum maka yang perlu diselidiki lebih dahulu adalah masyarakatnya, karena ini menyangkut masalah sosial. Ini termasuk pendapat sosiologis atau realistis.

Pendapat normatif, dalam merumuskan hukum, mendasarkan pemikirannya pada anggapan bahwa hukum adalah apa yang datang dari atas atau dari pemerintah atau penguasa yang berwenang. Hukum adalah sengaja dibuat oleh pemerintah, sebagai norma dan sebagai kekuasaan yang biasanya berisi perintah dan/atau larangan dan/atau perkenan. Termasuk tokoh pendapat normatif adalah Jeremy Bentham (1748-1832), pendapatnya diikuti oleh John Austin yang menganggap bahwa hukum dibuat oleh aparatur pemerintahan negara, yaitu dibuat oleh pembentuk undang-undang dan dibuat oleh hakim dalam proses peradilan (judge made law) (Paton, 1953 : 51). Dapat dianggap sebagai penganut yang lain adalah Roscoe Pound, sebab ia pernah berpendapat bahwa hukum adalah alat untuk merubah atau memperbaiki masyarakat (law is a tool for social engineering).
Pendapat sosiologis, dalam merumuskan hukum, mendasarkan pemikirannya pada anggapan bahwa hukum adalah kehidupan masyarakat itu sendiri atau merupakan suatu proses sosial, dan merupakan perilaku yang timbul secara spontan dari bawah dan bukan dibuat oleh pemerintah, tetapi ditentukan dalam kehidupan sosial, ia lahir dan berkembang dalam masyarakat yang dinamis. Sebagai tokohnya adalah Von Savigny yang mengajarkan bahwa hukum tidak sengaja dibuat, tetapi lahir dan tumbuh bersama dengan masyarakat (das Recht ist nicht gemacht es ist und wird mit dem Volke) (Purbacaraka, 1979** : 21).
Kalau kita perhatikan, ternyata pendapat normatif dan pendapat sosiologis mengandung kelemahan, kedua pendapat itu berat sebelah, dan tidak sesuai dengan kenyataannya. Pendapat normatif hanya benar kalau semua hukum berbentuk peraturan perundang-undangan, yang keberadaannya memang sengaja dibuat oleh penguasa atau pemerintah. Demikian sebaliknya, pendapat sosiologis, hanya benar apabila semua hukum lahir dari pergaulan hidup atau dari hasil proses sosial, yang berupa hukum kebiasaan atau hukum adat.
Akibat kelemahan-kelemahan dari kedua pendapat tersebut di atas, maka muncullah pendapat ketiga yang berusaha menggabungkan atau merupakan sinthesa kedua pendapat yang lain. Pendapat campuran pada pokoknya mengatakan bahwa ”Hukum adalah peraturan tingkah laku, norma dan sekaligus adalah kebiasaan dalam masyarakat”.

Pemberian Arti Hukum
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menyebutkan ada 9 arti hukum, yaitu:  hukum sebagai ilmu pengetahuan; hukum sebagai disiplin; hukum sebagai kaidah; hukum sebagai tata hukum; hukum sebagai petugas hukum; hukum sebagai keputusan penguasa; hukum sebagai proses pemerintahan; hukum sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang teratur; hukum sebagai jalinan nilai-nilai (Purbacaraka, 1979*** : 12) :

Hukum dalam arti sebagai ilmu pengetahuan (ilmu hukum) atau yang berarti juga sebagai ilmu kaidah (normwissenschaft), yaitu ilmu yang membahas hukum sebagai kaidah, atau bagian dari sistem kaidah dengan dogmatik hukum dan sistematik hukum. Dalam hal ini hukum dilihat sebagai karya manusia untuk mencari kebenaran, yang memiliki ciri-ciri : sistematis, logis, empiris, metodis, umum dan akumulatif. Mengingat hukum mempunyai fungsi untuk melindungi kepentingan manusia dalam hidup bermasyarakat, maka kebenaran yang dicari tentunya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kenyataannya masyarakat dinamis, masyarakat selalu berubah dan berkembang. Hal tersebut menuntut ilmu hukum ikut berkembang agar secara obyektif dapat memberikan jawaban yang tepat sesuai dengan keadaan masyarakat.
Hukum dalam arti sebagai disiplin, yaitu sebagai ajaran hukum mengenai fenomena masyarakat, atau ajaran kenyataan atau gejala-gejala hukum yang ada dan yang hidup dalam masyarakat.
      Hukum dalam arti sebagai kaidah, yaitu sebagai peraturan hidup yang menetapkan bagaimana manusia seharusnya bertingkah laku dalam hidup bermasyarakat, yang berisi perintah, perkenan dan larangan, yang tujuannya agar tercipta kehidupan masyarakat yang damai. Sebagai peraturan, hukum harus ditaati atau harus dilaksanakan, apabila dilanggar si pelanggar akan mendapatkan sanksi dari masyarakat. Berbeda dengan kaidah sosial yang lain, pelanggaran terhadap kaidah hukum sanksinya lebih tegas dan dapat dipaksakan oleh pihak berwenang.
Hukum dalam arti sebagai tata hukum, yaitu sebagai keseluruhan aturan hukum yang berlaku sekarang, atau yang positif berlaku di suatu tempat dan pada suatu waktu. Tata hukum disebut sebagai hukum positif, atau ada juga yang menyebut sebagai sistem hukum. Sebagai contoh Tata Hukum Indonesia adanya sejak saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Berdasarkan hal itu, dapat dikatakan bahwa hukum dalam arti Tata Hukum Indonesia adalah keseluruhan aturan hukum dibuat atau lahir setelah Proklamasi Kemerdekaan dan yang telah ada sebelumnya yang masih berlaku sekarang adalah merupakan bagian dari Tata Hukum Indonesia.
Hukum dalam arti sebagai petugas hukum, dalam konteks ini lebih banyak merupakan anggapan dari sebagian warga masyarakat yang awam hukum (the man in the street), mereka memanifestasikan hukum seperti apa yang dilihatnya, yaitu petugas penegak hukum. Dalam hal ini, polisi, jaksa dan hakim serta petugas hukum lain yang memakai seragam dan sedang melaksanakan tugasnya menindak orang yang melanggar hukum, dianggap sebagai hukum. Bagi mereka, bukan terbatas pada petugas yang merupakan manusia, tetapi juga bentuk manifestasi dari petugas (polisi), misalnya patung polisi dan simbol-simbol atau rambu-rambu lalu lintas yang ada atau terpasang di pinggir jalan.    
Hukum dalam arti sebagai keputusan penguasa, yaitu merupakan keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum yang dibuat, ditetapkan atau diputuskan oleh pihak penguasa yang berwenang. Penguasa yang berwenang, baik yang secara khusus mempunyai kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan maupun penguasa lain yang mempunyai kewenangan mengeluarkan penetapan atau keputusan dalam menyelesaikan kasus-kasus konkrit tertentu.
Hukum dalam arti proses pemerintahan, yaitu merupakan aktivitas dari lembaga administratif atau lembaga eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hal ini yang dipentingkan adalah tertib aktivitas prosesnya itu sendiri. Kalau yang dilihat mengapa penguasa lebih menekankan pada aspek ketertiban maka ini akan dipahami sebagai hukum dalam arti tata hukum, sedangkan kalau yang dilihat adalah hasil dari proses yang merupakan penetapan atau keputusan dan bentuk tertulis, maka ini akan dipahami sebagai hukum dalam arti sebagai keputusan penguasa.
Hukum dalam arti sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang teratur, yaitu perilaku individu yang satu terhadap yang lain secara biasa, wajar dan rasional, yang secara terus-menerus dilakukan dalam garis sama akhirnya menimbulkan suatu ikatan yang diterima sebagai suatu keharusan. Sebagai contoh : Setiap Dosen A memberi kuliah di sore hari, B (petugas Fakultas) menyediakan minuman. Pada tiap akhir semester, setelah dosen A menerima hasil ujian, ia selalu memberi uang kepada B. Sikap tindak dosen A dan petugas B yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh mereka berdua dianggap merupakan ikatan, bahkan mungkin dianggap sebagai hukum. Andaikata kebiasaan tersebut juga diikuti oleh dosen-dosen lain dan dalam lingkup aktivitas yang lebih luas, kurun waktu yang lama serta pada akhirnya diterima sebagai suatu keharusan, maka sikap tindak tersebut dapat menjadi hukum kebiasaan.
Hukum dalam arti sebagai jalinan nilai-nilai, tujuan hukum dalam kaitannya dengan jalinan nilai adalah untuk mewujudkan keseimbangan atau keserasian antara pasangan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, yaitu: antara nilai obyektif (yang universal misalnya tentang baik dan buruk, patut dan tidak patut) dengan nilai subyektif (yang sesuai dengan tempat, waktu dan budaya masyarakat), antara nilai kepentingan pribadi (sejajar dengan ketenteraman) dengan nilai kepentingan masyarakat (yang sejajar dengan ketertiban), antara nilai kelestarian dengan nilai pembaharuan, semuanya itu demi terciptanya kedamaian hidup bersama.    

Fungsi, Tugas dan Tujuan Hukum
Hukum mempunyai fungsi umum seperti ketiga kaidah sosial yang lain, yaitu   melindungi kepentingan manusia. Dalam hubungannya dengan ketiga kaidah sosial yang lain, hukum mempunyai fungsi khusus, yaitu untuk mempertegas dan sekaligus juga untuk melengkapi dalam memberikan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan manusia.
Tugas hukum untuk memberikan atau menjamin kepastian hukum (Rechtssicherheit), sebenarnya tersimpul juga tugas lain di dalamnya, yaitu kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Ketiga hal tersebut merupakan unsur penegakan hukum, yang dalam penerapannya tidak mudah, artinya kalau menekankan pada satu unsur misalnya kepastian, maka kemanfaatan dan keadilan terdesak, sebaliknya kalau lebih memperhatikan keadilan maka kepastian hukumnya yang dikorbankan. Oleh sebab itu penegakan hukum yang baik, apabila dapat menerapkan peraturan hukum dalam kasus konkrit dengan memperhatikan ketiga unsur penegakan hukum secara proporsional.
Kepastian hukum dapat diartikan kepastian bahwa setiap orang akan dapat memperoleh apa yang diharapkan dalam keadaan  tertentu. Kepastian hukum itu ada dua macam, yaitu (Utrecht, 1961 : 29):
1.     Kepastian oleh karena hukum, adalah kepastian yang tercapai karena hukum mengenal adanya lembaga kadaluwarsa (verjaring), misalnya adanya ketentuan hukum yang termuat dalam Pasal 1963 KUH Perdata, Pasal 78 KUH Pidana.
2.     Kepastian dalam atau dari hukum, adalah kepastian hukum yang tercapai apabila hukum sebanyak-banyaknya berbentuk undang-undang. Dalam undang-undang tersebut tidak memuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan, undang-undang itu dibuat berdasarkan keadaan hukum yang sungguh-sungguh, dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.

                 
                  Tentang Keadilan
 Aristoteles mengajarkan bahwa ada dua macam keadilan, yaitu : keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang bagian menurut jasanya masing-masing, tidak menuntut agar setiap orang mendapatkan bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Sedangkan keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tanpa mengingat jasa-jasa perseorangan (Apeldoorn, 1971 : 24 – 25).

Keadilan distributif (distributive justice = justitia distributiva) lebih menguasai hubungan antara masyarakat atau pemerintah dengan rakyatnya. Sebagai contoh: Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi:
(1)       Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2)       Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(3)       Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

Keadilan komutatif (commutative justice = justitia commutativa) lebih menguasai hubungan antara perseorangan, hubungan antara orang yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh: adalah hubungan-hubungan hukum yang bersifat keperdataan, misalnya perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian tukar-menukar, dan lain sebagainya. Harus ada persamaan antara apa yang diberikan oleh pihak yang satu dengan apa yang akan diterima dari pihak lain.
Berbeda halnya dengan keadilan komutatif, harus merupakan suatu perimbangan yang bersifat timbal balik atau bersifat timbal balik yang proporsional (proportionate reciprocity). Pertukaran harus sama nilainya, mengingat keadilan komutatif lebih menguasai hubungan keperdataan. Oleh sebab itu keadilan komutatif sering disebut keadilan niaga (commercial justice). Keadilan komutatif bermaksud memelihara ketertiban dan kesejahteraan masyarakat.


                  Teori Utilitis
Tujuan hukum adalah menjamin tercapainya kebahagiaan sebesar-besarnya untuk jumlah orang yang sebanyak-banyaknya. Penganut teori utilitis antara lain adalah Jeremy Bentham, yang berpendapat bahwa hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang, tetapi mengingat apa yang berfaedah bagi orang yang satu mungkin merugikan orang lain, maka tujuan hukum dirumuskan sebagai berikut : hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan yang sebesar-besarnya pada orang sebanyak-banyaknya (Utrecht, 1961 : 27).



orang yang saling berhubungan. Hubungan tersebut bisa hubungan yang menyenangkan (misalnya hubungan dua orang yang berlawanan jenis disahkan oleh lembaga perkawinan maka akan menimbulkan hukum perkawinan); atau sebaliknya, hubungan tersebut hubungan yang tidak menyenangkan yaitu karena terjadi sengketa atau perselisihan.
Lebih lanjut dijelaskannya bahwa pada hakekatnya hukum baru ada apabila terjadi konflik kepentingan. Konflik kepentingan ini terjadi ketika seseorang dalam melaksanakan kepentingannya telah merugikan orang lain.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa manusia pada umumnya suka mencari benarnya sendiri. Kalau kepentingannya terganggu, ia cenderung akan menyalahkan orang lain; ia akan mempersoalkan siapa yang salah, siapa yang melanggar, siapa yang berhak, apa hukumnya. Disinilah baru dipersoalkan oleh hukum. Dengan kata lain, hukum baru timbul ketika terjadi konflik kepentingan atau pelanggaran kaidah hukum; sebaliknya kalau semua kejadian berlangsung tertib, tidak ada konflik atau pelanggaran kaidah hukum, maka tidak akan ada orang yang mempersoalkan hukum.
Untuk mengetahui, memahami dan dapat menghayati hukum, kita harus mengetahui:
1.     definisi dan/atau pengertian hukum.
2.     beberapa karakteristik dari kaidah hukum dilihat dari segi isi, sifat dan perumusan kaidah hukum.






Tiada ulasan:

Catat Ulasan