Jumaat, 11 September 2015

Kaidah hukum



Untuk mengetahui, memahami dan dapat menghayati hukum, selain kita harus mengetahui definisi dan/atau pengertian hukum; kita juga harus memahami karakteristik dari kaidah hukum.

Penjelasan berikut ini tentang kaidah hukum yang diadaptasi dari modul 2 PIH/PTHI yang ditulis oleh Kunthoro Basuki, SH.,M.Hum



A.    Isi, Sifat dan Perumusan Kaidah Hukum

Dilihat dari segi isinya, kaidah hukum dapat berisi perintah, perkenan dan larangan. Dalam bidang hukum tata negara banyak kita jumpai ketentuan-ketentuan hukum yang berisikan perintah atau suruhan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu. Ketentuan hukum yang isinya perkenan atau perbolehan, banyak kita jumpai dalam bidang hukum perdata. Dalam bidang hukum pidana, sebagian besar memuat ketentuan-ketentuan hukum yang melarang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.

Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa tidak setiap peraturan hukum merupakan kaidah hukum. Suatu kaidah hukum itu isinya berupa perintah atau larangan. Dengan mengikuti pendapat Zevenbergen, dikatakan bahwa untuk memastikan, apakah di situ kita menjumpai suatu norma hukum atau tidak, keduanya bisa dipakai sebagai ukuran. Dengan patokan ini, ternyata tidak semua peraturan hukum itu mengandung norma hukum di dalamnya. Beberapa peraturan yang demikian adalah (Rahardjo, 1982 : 26 – 27) :

1.     Peraturan-peraturan yang termasuk  ke dalam hukum acara.

2.     Peraturan-peraturan yang berisi rumusan-rumusan pengertian yang dipakai dalam suatu kitab hukum.

3.     Peraturan-peraturan yang memperluas, membatasi atau merubah isi dari peraturan lain.

4.     Peraturan-peraturan yang hanya menunjuk kepada peraturan lain.



Menurut sifatnya, kaidah hukum dapat dibedakan menjadi dua :

1.     Kaidah hukum yang bersifat memaksa atau imperatif, yaitu peraturan hukum yang secara a priori mengikat dan harus dilaksanakan, tidak memberikan wewenang lain selain apa yang telah diatur dalam undang-undang. Biasanya peraturan hukum yang berisi perintah dan larangan bersifat imperatif.

2.     Kaidah hukum yang bersifat pelengkap atau subsidair atau dispositif, yaitu peraturan hukum yang tidak secara a priori mengikat, atau peraturan hukum yang sifatnya boleh digunakan, boleh tidak digunakan, atau peraturan hukum yang baru berlaku apabila dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak ada sesuatu hal yang tidak diatur (jadi bersifat mengisi kekosongan hukum). Biasanya peraturan hukum yang berisi perkenan atau perbolehan bersifat fakultatif.



Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas, berkaitan isi, sifat dan perumusan peraturan hukum, digunakan sebagai contoh dan kebetulan kesemuanya dimuat dalam satu bidang hukum, misalnya dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang ”Perkawinan”. Dalam hal ini disebutkan sebagai contohnya, yaitu : untuk yang berisi larangan Pasal 8, yang berisi perintah Pasal 16, yang berisi perkenan Pasal 29 ayat (1), dan yang merupakan pernyataan hipotetis Pasal 31.



Pasal 8

”Perkawinan dilarang antara dua orang yang :

1.berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

2.berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya;

3.berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;

4.berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;

5.berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

6.yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”



Pasal 16

(1)  Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.

(2)  Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.



Pasal 29 ayat (1)

(1)  Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.



Pasal 31

(1)  Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2)  Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan